"PAGIKU CERAHKU... MATAHARI BERSINAR, KU GENDONG TAS MERAHKU DI PUNDAK, SELAMAT PAGI SEMUA-"
"Gue tahu suara lo bagus kra. Tapi lebih baik gak usah nyanyi." Ucap Eva yang masih menutup kedua telinganya menggunakan jari telunjuk.
"Suka-suka gue." Balasnya lalu duduk di bangkunya.
Seperti biasa Akra selalu berpakaian tidak sesuai aturan sekolah, dan setiap hari menjadi sasaran guru BK. Tapi Akra tidak peduli itu.
"Syantik buanget syih pacar akoh."
"Kamo toh, bwisa guak? Buajunya dibenerin dwulu sebelum berangkat sekolah." Akra tergelak mendengar Yara menirukan gaya bicaranya.
"Enggak. Bantuin benerin makanya."
"Dih. Kayak anak TK aja."
"Masih pagi woy. Jangan bucin dulu napa!" Pikik Dito dari belakang.
"Suka-suka gue."
Dito menatapnya dengan tatapan jengkel, entah mengapa kalau akra berucap seperti itu kayak bocil suka bikin emosi apa lagi ekspresi wajahnya yang minta di tabok.
"Sabar Dit. Akra lagi PMS." Ucap Oskar cekikikan melihat ekspresi wajah Dito.
••🕸••
Seperti biasanya, bukan Akra namanya kalau tidak bikin masalah. Setelah mengikuti pelajaran selama dua jam, dia dan teman-temannya ingin ke kantin tapi Akra malah lari terbirit-birit ketika melihat Ibu Nur yang selaku guru BK berjalan ke arahnya sambil memegangi penggaris kayu yang lumayan panjang.
Bagaimana tidak emosi, pakaian Akra sepeti preman. Celananya sobek-sobek khas celana gaya-gayaan, dua kancing atas bajunya dilepas, tidak memakai dasi dan dengan santainya ingin berjalan ke kantin? Bagi Ibu Nur Akra akan habis hari ini.
Sebenarnya celana yang ia pakai hari ini pernah ia gunakan tiga bulan yang lalu dan Akra berhenti memakainya karena ingin di keluarkan dari sekolah, bahkan orang tuanya sampai bermohon-mohon kepada Pak Alif agar mempertahankan Akra karena sudah hampir lulus. Dan tanpa Akra ketahui juga Pak Alif itu salah satu kerabat Akra tapi karena Akra anaknya jarang ingin ikut pertemuan keluarga jadi dia tidak mengenal banyak keluarganya. Tapi Pak Alif tahu itu makanya selama ini Akra kalau bikin ulah hanya diberikan hukuman.
"TURUN KAMU AKRA!" Setelah cukup lama berkejar-kejaran dengan ibu Nur, Akra memilih mengamankan diri di atas pohon mangga yang ada di lingkungan sekolah.
"Kamu mau Ibu kutuk jadi batu? Hah?
"Kutuk jadi monyet aja bu! Pasti gampang terkabulnya soalnya 'kan mirip!" Teriak Dito yang berdiri bersama yang lainnya di tempat yang tak jauh dari Akra.
"Gue kick lo dari geng Aodra ya Dit!"
"Eh, Yar? Kok ninggalin aku sih?"
"Woy! Gak setia kawan lo semua!" Akra menatap nanar teman-temannya yang berjalan ke kantin.
"Akra! Turun! Atau ibu telpon orang tua kamu dan laporin semua kelakuan kamu."
"Ja-jangan lah bu, bisa-bisa Akra gak dikasih uang jajan seminggu."
"Lagian bu, saya itu gak mau pake celana ini sebenarnya tapi celana yang biasa Akra pakai itu masih kotor, belum di cuci, jadi terpaksa saya pakai celana ini. Swear dah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis
Teen Fiction[FOLLOW DAN VOTE SEBELUM MEMBACA] "Dunia itu tempatnya meninggalkan dan ditinggalkan. Karena pada intinya semua akan pergi jika sudah waktunya." [ cerita ini murni hasil fikiran saya. maaf jika ada kesamaan alur, nama tokoh, tempat, dan lain-lain]