letters - 6

356 52 1
                                    

Seharian Sunoo menemani Riki memancing. Meski Riki banyak diam saat Sunoo terus mengoceh, hal itu bukan masalah besar bagi Sunoo. Baginya ini menyenangkan. Melihat Riki yang tetap gigih menunggu seekor ikan menyabet umpannya ternyata menjadi tontonan yang cukup menyenangkan. Ini pertama kalinya Sunoo melihat sisi lain Riki yang seperti ini.

Di saat matahari sudah di atas kepala, Sunoo bisa mendengar suara perut yang keroncongan. Senyumnya mengembang ketika menoleh pada pemuda di sampingnya yang tengah berusaha pura-pura tidak terjadi apa-apa.

"Lapar ya? Sama, hyung juga."

Riki berdehem, agak malu karena tertangkap basah.

Sunoo menoleh ke sekeliling mereka. Orang-orang banyak yang memilih berteduh di bawah pohon untuk menghindari terik matahari.

"Banyak yang piknik disini. Harusnya aku bawa makanan juga dari rumah."

Sunoo lantas menoleh pada Riki. "Mau pesan makanan atau ke restoran saja?"

Riki menoleh hanya untuk bilang "terserah", tapi urung saat dia melihat wajah Sunoo yang merah kepanasan dengan keringat di dahinya.

"Ke restoran saja."

Senyum Sunoo mengembang. "Yuk, hyung yang traktir."

Mereka beberes alat pancing Riki kemudian beranjak menuju deretan pertokoan di seberang taman. Pilihan mereka jatuh pada sebuah kedai yang menjual berbagai menu mie dan tteokbeokki. Suasana di dalam cukup ramai, beruntung mereka bisa mendapat tempat duduk di pojok.

Sunoo menghela napas lega setelah duduk di kursi mereka. Restoran itu memang tidak pakai AC, tapi setidaknya meja mereka menghadap kipas. Pria itu lantas mengeluarkan handuk kecil dari tasnya untuk mengelap wajahnya yang banjir keringat.

Semua gerak-geriknya itu diperhatikan lekat oleh Riki. Dia sedikit merasa bersalah telah membuat Sunoo sampai kepanasan begitu. Yah, sepertinya dia harus mengurungkan rencananya memancing di sungai Han sampai sore di saat Sunoo sedang bersamanya.

Makanan pesanan mereka akhirnya tiba. Tak menunggu waktu lama, keduanya langsung membabat habis semua makanan yang ada. Riki memang kelaparan, tapi yang tampak rakus justru Sunoo. Pemuda 26 tahun itu bahkan selesai lebih awal.

"Enak sekali ternyata makan saat perut kelaparan," gumam Sunoo sambil melipat-lipat tisu yang baru saja dia pakai untuk mengelap bibirnya.

Ia kemudian memusatkan pandangan pada Riki yang masih anteng menghabiskan makanannya. Senyumnya mengembang saat melihat Riki makan dengan belepotan. Refleks dia pun menggunakan tisu di tangannya untuk membersihkan bibir Riki.

Yang lebih muda tersentak. Dia pun menatap Sunoo dengan mata kucingnya yang tampak melebar, sehingga eye contact pun terjadi.

"Ada saus di dekat bibirmu, Riki," ucap Sunoo yang sontak membuat Riki memundurkan wajahnya dan buru-buru membersihkan bibirnya sendiri dengan tisu di atas meja.

Sunoo sendiri terkikik melihat Riki yang sedang salting. Lucu, ujung telinganya tampak memerah.

"Pelan-pelan saja makannya. Tidak akan kutinggal kok."

Riki berdehem. Lagi-lagi dia dibuat malu oleh Sunoo. Meski Sunoo menyuruhnya makan dengan pelan, tapi dia tetap mempercepat sedikit makannya supaya Sunoo tidak perlu menunggu lama.

10 menit kemudian mereka sudah keluar dari restoran. Matahari masih menyorot terik. Keduanya berjalan menyusuri pedestrian yang ditutupi bayangan bangunan. Mereka tidak ingin kembali ke taman—meski Riki ingin. Keduanya sepakat pergi ke sebuah comic cafe yang tak jauh dari lokasi mereka.

"Riki."

Yang dipanggil namanya lantas menoleh. Alisnya bertaut menandakan bahwa ia menunggu Sunoo melanjutkan bicaranya.

"Kau ... tidak ingin cerita apapun pada hyung?"

Riki menatapnya bingung. "Tentang apa?"

Sunoo tersenyum tipis. "Tentang kau dan Jungwon."

Mendengar nama itu, ekspresi Riki berubah. Dia langsung membuang pandangan, seolah tidak ingin membicarakan tentang saudara tirinya.

"Tidak mau ya? It's okay. Hyung tidak akan memaksamu."

Mereka lanjut berjalan tanpa obrolan apapun. Suasana mendadak canggung. Sunoo merasa bodoh telah mempertanyakan hal privasi seperti itu pada Riki. Tapi mau bagaimana lagi? Dia sangat penasaran kenapa Jungwon begitu membenci Riki.

Comic cafe sudah ada di depan mata. Sebelum mereka masuk ke dalamnya, Sunoo tiba-tiba menahan lengan Riki yang membuatnya mau tak mau berhenti dan menoleh pada yang lebih tua.

"Maaf, hyung sudah lancang. Riki jangan marah ya? Hyung tidak akan bertanya soal itu lagi kalau Riki merasa tidak nyaman. Hyung cuma ingin tahu alasan di balik sikap Jungwon selama ini. Hyung tidak tega melihatmu menderita selama di sekolah, Riki. Tapi ... siapa aku yang harus tahu tentang semua itu? Kita baru bertemu 5 hari dan aku merasa sudah pantas untuk mengetahui semua tentangmu. Sekali lagi maaf."

Sunoo menatap pemuda jangkung itu untuk menunggu jawaban. Namun Riki tetap membisu, membuat Sunoo semakin merasa bersalah. Dia menunduk, menghela napas. Dan dengan berat hati dia melepaskan genggamannya pada lengan Riki.

"Maafkan aku."

"Aku tidak marah," kata Riki bersamaan dengan tangannya meraih tangan Sunoo. Pergerakannya yang tiba-tiba itu jelas membuat Sunoo terkejut hingga kembali mendongak menatapnya.

"Aku tidak marah, Hyung."

"B-benarkah?"

Riki mengangguk. "Kalau memang kau ingin tau, aku akan menceritakannya."

Sunoo terlihat kelabakan. "Tidak perlu, Riki. Aku tidak ingin memaksamu. Kalau kau tidak ingin cerita, lebih baik jangan. Apalagi—"

"Tidak masalah."

Sunoo tertegun menatapnya.

"Kuceritakan di dalam."

Tanpa sadar Riki menarik tangan Sunoo masuk ke dalam comic cafe. Sunoo yang menyadari tangannya digenggam erat oleh Riki tampak bersemu.

Mereka tidak menyadari bahwa ada seseorang yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik mereka dari kejauhan. Bahkan keduanya juga tidak sadar momen berpegangan tangan mereka diabadikan dengan latar belakang Motel yang kebetulan berada di sebelah comic cafe tersebut.

🖇️ xx send a picture
Lihat, siapa yang aku temui hari ini? 😗  Kencan malam minggu ke motel, guys 😜

Tbc

8 lettersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang