Lift sampai di lantai basement. Jungwon segera melangkahkan kakinya keluar sambil mengusap air matanya yang makin deras. Namun daripada merasa sedih, dia lebih merasa marah.
Di setiap langkahnya yang penuh emosi dia berjalan cepat menuju letak dimana motornya diparkir. Sekarang dia tidak punya tempat tujuan lagi. Apartemen Jay bukan lagi tempat pulang untuknya. Lebih tepatnya, ia sudah tidak ingin bertemu Jay lagi.
Semua orang sama saja. Semua ada di pihak Riki. Kenapa tidak ada satupun yang berada di pihaknya?!
"ARGH!"
Satu tinjuan mendarat di tiang basement yang terbuat dari beton. Bukannya menghancurkan tiang, justru tangannya yang malah terasa hancur.
"Sakit..." lirihnya sembari memeluk tangannya sendiri. Tetap dalam posisi berdiri dengan kepala tertunduk, ia menangis mengeluarkan semua emosinya.
Hidup rasanya tidak adil. Jungwon merasa kalau hanya ibunyalah yang berada di pihaknya. Sedangkan yang lain lebih memilih Riki ketimbang dirinya.
Mereka hanya melihat kalau Jungwon adalah anak yang nakal, tidak punya adab, seorang pembully. Tapi mereka tidak melihat bahwa Jungwon sebenarnya anak yang haus perhatian, butuh kasih sayang, terlalu ditekan ekspektasi.
Sejak dulu ayahnya tidak benar-benar menyayanginya. Ayahnya hanya menyuruhnya untuk menjadi si nomor 1. Tidak sekalipun menerima saat Jungwon turun ke nomor 2 dan 3. Hanya ada dua pilihan, jadi si nomor 1 atau dipukul.
Tapi kenapa pada Riki tidak seperti itu? Terlihat jelas sekali ayahnya sangat memanjakan Riki. Apapun yang Riki mau akan langsung dituruti saat itu juga tanpa syarat apapun. Tetap dipuji walaupun rangkingnya belasan. Dan yang paling menyebalkan, Riki tidak pernah dipukul.
Pilih kasih.
Jungwon merindukan ibunya. Dia rindu dipeluk ibunya lagi saat sang ayah memukulnya. Meski pada akhirnya dia tau wanita itu bukanlah ibu kandungnya, tapi bonding mereka sebagai ibu dan anak sangat kuat hingga ia tak bisa mempercayai bahwa Wonyoung hanya ibu sambungnya.
"JUNGWON!"
Ia bisa mendengar suara Jay dari arah lift. Namun ia tetap bergeming dengan posisi yang sama, khusyuk menangisi hidupnya yang kesepian.
"Jungwon.."
"Berhenti disana."
Jay tak menggubris. Dia memelankan langkahnya untuk mendekat pada Jungwon yang tampak bergetar.
"Jungwon, hei—"
"Kubilang berhenti ya berhenti!"
Mau tak mau Jay menghentikan langkahnya tepat 2 meter di belakang Jungwon.
"Kenapa mengejarku? Bukannya kau juga berpihak pada Riki? Kenapa mengejarku?!"
Jay menghela napas. "Aku tidak mau kau kenapa-napa lagi seperti saat itu, Jungwon."
Pemuda itu mendesah sinis. "Memang apa urusanmu? Aku matipun tidak akan ada pengaruhnya untukmu."
"Itu urusanku dan berpengaruh padaku, Jungwon."
"Omong kosong."
Jungwon tak mendengar suara apapun dari Jay. Ah, pasti pria itu putus asa dan memilih pergi.
Tapi, ternyata tidak. Pria itu justru memeluknya erat dari belakang hingga Jungwon dapat merasakan tubuhnya seolah mengecil dan tenggelam di antara bisepnya.
"Aku tau kau pasti tidak akan mau mendengar apapun dariku saat ini. Tapi yang harus kau tau, aku benar-benar peduli padamu, Jungwon."
Pemuda itu kembali menunduk. Kini menggigit bibirnya sendiri saat air matanya kian deras.