4

184 22 0
                                    

"Keluar dari perpustakaan itu sekarang juga!"

"Tidak, ada dokumen penting yang ingin kuselamatkan. Kau pergilah duluan nanti kususul, aku berjanji." Suaranya semakin mengecil saat ia semakin terseret oleh lautan manusia. Kobaran api pada bangunan itu semakin menggila seiring dengan angin yang berembus kencang.

Ia menatap puing-puing bekas bangunan agung yang kini telah hancur, tak ubahnya perasaannya sekarang. Rekannya berdusta, janjinya tak terpenuhi, gulungan-gulungan papirus itu dianggapnya lebih penting dari nyawa sendiri. Tangannya terhenti di udara saat jemarinya tak kunjung merasakan sesuatu yang ia cari. Matanya terpaku pada tanah tempatnya berpijak, menatap pada guguran kelopak yang terkumpul di dekat kaki. Tangkai bunga yang ia pegang terjatuh, ia melangkah pergi menjauhi tempat itu.

"Kawanku, kau dimana? Kenapa semua gelap? Aku tak bisa melihatmu."

"Aku di sini." Ucapnya sambil menggenggam tangan yang kulitnya menghitam di beberapa tempat.

"Aku akan menyembuhkanmu, bertahanlah." Ia menarik napas mencium wewangian rempah, mint, mawar dan bahan penangkal bau lain yang terkumpul di ujung 'paruh burung' pada topeng yang ia kenakan. Melepas sarung tangan hitamnya tergesa, mulai mengeluarkan sihir penyembuhnya. Kostum yang ia pakai hanyalah kedok untuk menyembunyikan identitasnya sebagai setengah dewa yang kebal penyakit–karena ia bisa menyembuhkannya sendiri begitu terinfeksi. Berpura-pura menjadi manusia biasa.

Ia terlambat, Thanatos telah menunggunya di ujung tempat tidur.

Tubuhnya terduduk di samping pusara yang berhias bunga. Ingatan-ingatan akan waktu yang dihabiskan bersama berkelabatan dalam pikirannya. Tangannya terangkat meyentuh batu nisan, mengelusnya dengan sayang. Ia berdiri, mengepakkan sayapnya dalam wujud burung gagak ke angkasa.

Isak tangis bayi berkumandang pada ruangan bersalin di balik pintu tempatnya menunggu. Seorang wanita tua keluar, membawa bungkusan yang terlihat sedikit menggeliat. Ia menatap matanya dengan pandangan iba.

"Ibu, siapa ayahku?"

Ia terdiam mendengar bocah laki-laki kecil itu bertanya padanya. Ia membungkukkan diri, menyejajarkan pandangan pada mata si bocah lelaki yang memanggilnya 'ibu'.

"Ayahmu adalah orang baik, tapi Tuhan sangat menyayanginya lalu mengajaknya pergi ke belahan dunia lain."

Bohong.

Ia mengirimnya ke Tartarus. Saat itu amarah meliputi jiwanya kala mendengar rekan sejawatnya di setubuhi paksa oleh seseorang. Ia memburunya ke seluruh penjuru kota, mengotori tangannya dengan darah manusia biadab itu. Mencerai-beraikan tubuhnya laksana burung yang mencabik Prometheus sebelum Herakles, sang pahlawan, membebaskannya dari belenggu.

"Apakah jika aku jadi orang baik Tuhan akan mengajakku juga dan mempertemukanku dengan ayah?" matanya berbinar penuh pengharapan.

"Emm, iya, mungkin?" ia tersenyum kaku. Jangan sampai itu terjadi.

Netranya mengikuti gerakan bocah yang melompat kegirangan. Pandangannya terarah pada bangunan-bangunan yang berdiri di sekitar padang rumput tempatnya mengistirahatkan diri. Masyarakat di sini tak lagi percaya pada dewa-dewi Olympus.

"Jangan ikut berperang."

"Tidak, aku harus ikut, ibu. Aku akan membebaskan masyarakat kita dari penguasa tirani itu."

Anak yang selama ini ia rawat itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda tangguh, rambut pirang kotornya yang sedikit ikal membingkai apik parasnya yang rupawan. Pemuda itu menggenggam jari-jemari sang ibu, mengusapnya perlahan.

Lethe (Gojo Satoru × Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang