11

205 12 2
                                    

Kaki-kaki kecil itu semakin mempercepat langkahnya kala tempat yang dinantikan terlihat oleh pandangan. Ia berhenti sejenak untuk menarik napas, jari-jemari yang mengenggam sebuket bunga itu diarahkannya pada helai-helai sehitam arang yang berantakan. Rangkaian laurel emas yang terasa tidak nyaman dilepas lalu dipasangnya kembali.

"Papa, cepatlah!" ujarnya.

Pria yang sedang mengecek arloji itu mengalihkan pandangan, "Iya, sebentar, sayang."

Gadis tujuh tahun itu mendengus kesal. "Papa lambat."

Ia berlari menghampiri sang pria, jemari yang lebih besar diraih lalu ditariknya paksa.

"Ayo, Papa. Ayo." Ucapnya tak sabar.

"Baiklah, baiklah. Hup!"

Gadis itu memekik manakala tubuhnya terangkat ke udara. Senyum terlukis di wajah saat sang pria membawanya dalam gendongan. "Let's go!"

"Uhm!" gadis manis itu menganggukkan kepala.

"Hikari, kau bertambah berat." Ucapnya saat memasuki lahan penuh batu nisan.

"Salah Papa yang selalu memberikanku kue-kue manis."

Pria itu tertawa ketika pipi putrinya menggembung tak suka.

•••

"Aku melihat putrimu siang tadi."

Di bawah langit berbintang itu ia berdiri memandangi batu-batu yang berjejer rapi.

"Bayi itu telah tumbuh menjadi anak yang manis, sama sepertimu dulu." Ujarnya.

Iris hitamnya memandang pada sang rembulan yang bersinar terang, bulat sempurna tanpa sedikitpun hitam di dalamnya. Ia bisa membayangkan bagaimana keturunan titan yang selalu bersinar keperakan itu tengah mengendarai keretanya membelah langit malam. Saudara perempuan dari Helios itu pernah sekali berselisih dengannya dulu, kejadian yang tak akan pernah ia lupakan dalam keabadian hidupnya.

"Dulu Selene juga sedang mengendarai kereta peraknya pada saat kelahiranmu."

"Titan itu berputar-putar di angkasa sementara aku sibuk mengejan, mencoba mengeluarkanmu dari rahimku." Tambahnya.

Angin kembali berembus ketika sang dewi menjeda.

"Eileithiya membantu persalinanku waktu itu, dia sendiri yang menyerahkan dirimu yang masih berlumuran darah kepadaku untuk disusui."

Ia menatap jari-jemarinya yang terangkat, seolah tengah membuai seorang bayi dalam timangannya.

"Kau tidak tahu seberapa bahagianya diriku saat mendengar tangisanmu untuk yang pertama kali. Ayahmu ikut menangis bahagia, sementara Eileithiya menertawakanku yang juga berlinang air mata."

Orang tua seharusnya tidak menguburkan anak mereka. Mungkin ia benar-benar akan mengucapkan kalimat itu jikalau dirinya bukanlah seorang dewi.

"Seandainya aku bisa membujuk Zeus untuk memberikanmu keabadian sejati, kurasa semua ini tak akan pernah terjadi." Ucapnya untuk yang terakhir kali, sebelum lenyap dalam kegelapan.

•••

Wanita paruh baya itu mengusap bulir-bulir asin yang mulai kembali merembes pada pada pelupuk-pelupuk mata. Jemarinya tergerak mengusap nisan yang belum lama ini dipasang. Ia tidak peduli bila terik matahari membakar punggungnya yang tak lagi muda. Usia memang menelan segala keleluasaannya sewaktu muda, begitu pula yang terjadi pada ayahnya. Maut telah merenggutnya dari genggaman orang-orang tercinta.

"Ibu." Seorang pemuda menepuk pundaknya pelan.

"Ayo, Bu." Ucap seorang yang lebih tua. Pemuda seperempat abad itu membantu saudaranya memapah sang ibunda.

Ingin rasanya ia kembali pada masa-masa kecilnya. Waktu di mana ia masih dalam gendongan sang ayah. Namun sayang, waktu tak akan pernah bisa diputar ulang. Kini sosoknya telah pergi menyusul sang belahan jiwa.

•••

"Ah, Ibu. Apa yang kau lakukan? Ibu merusak buah-buahan yang sudah kususun." Ucapnya dengan nada masam.

"Benarkah? Maaf, sayang. Ibu tidak tahu kalau kau mau melukis buah-buahan itu."

Buah-buahan menggoda selera itu lekas ditatanya ulang. "Maaf, oke?"

Helai pirang kecoklatan yang menutupi matanya ditiupnya pelan lalu disisirnya menggunakan jari-jemari ke belakang. Ia tidak bisa untuk tidak memaafkan kesalahan ibundanya yang tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan kesalahan-kesalahan yang ia perbuat sewaktu kanak-kanak.

"Baiklah, akan kumaafkan. Dan bisakah ibu tetap di sini? Aku tiba-tiba ingin melukis ibu tapi aku melupakan catku di suatu tempat." Pintanya.

Ia tersenyum, "Pergi dan ambilah. Ibu akan menunggumu di sini."

Pemuda itu mengangguk kemudian bergegas mengambil barang yang tertinggal.

Sementara itu, tak jauh dari tempatnya menunggu. Seorang pria tengah berjalan melintasi hamparan-hamparan kehijauan. Air mancur-air mancur yang dipahat sedemikian elok tak menghentikan langkahnya tatkala ia mendengar suara yang begitu dikenalnya sewaktu muda. Pilar-pilar putih tempat kedatangannya kini telah ia lupakan. Yang terpikirkan dalam kepalanya adalah bagaimana cara agar ia bisa mendengar suara itu kembali.

Mungkinkah. Ia menyegerakan diri untuk tiba di tengah-tengah pepohonan. Kelabatan hitam tertangkap oleh pandangan. Dari balik salah satu pohon ia memunculkan diri, jantungnya berdegup kencang dan ia bergeming dalam kebisuan. Berkas-berkas sinar matahari jatuh pada sosok yang tengah duduk di depan meja yang penuh buah-buahan segar. Punggung yang semula bersandar menegak manakala dua pasang mata bertemu pandang. Bibir itu lantas melengkungkan senyuman.

"Satoru." Ucapnya.

Tenggorokannya tercekat dan air terkumpul pada pelupuk mata. Ia tersenyum seraya berkata,

"(y/n)."

Tamat.









Akhirnya selesai juga~
Terima kasih untuk para pembaca yang senantiasa setia menunggu kelanjutan dari cerita ini😊

Bye bye~

Lethe (Gojo Satoru × Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang