8.2

74 13 0
                                    

Satu.

Dua.

Kanan.

Kiri.

Maju.

Mundur.

Berputar.

Ujung gaun merahnya bergesekan dengan tanah saat kaki-kakinya bergeser seirama dengan alunan senandung yang meluncur dari bibir sang lawan jenis. Ia mendongak pada sosok yang menuntun langkah-langkah kaki tak terlatih. Hari itu sang mentari tidak seterik biasanya, cahaya temaram mengguyur dua tubuh yang saling berdekatan. Jari-jemari bertaut satu sama lain, helaan napas dan tawa terdengar jelas, berkumandang di sela-sela kelopak-kelopak ungu yang bergoyang pelan.

Bumi telah selesai berputar mengelilingi matahari empat kali selama ia menanti. Tinggi pemuda itu melampauinya, anak-anak rambut menutupi sebagian netranya yang sebiru samudera. Untaian putihnya disatukan ke belakang, diikat dengan pita hitam sementara rambut bagian depan dipangkas lebih pendek, dibiarkan berserakan oleh terjangan angin.

Lebah berdengung, kupu-kupu mengibas-ngibaskan sayap di atas mereka, dedaunan bergesekan, ranting-ranting berderak oleh singgungan ekor-ekor cerpelai yang berlalu lalang. Gema suara burung alap-alap atau gemeresak semak saat angin membelai ujung-ujungnya. Ia mendengar buah apel jatuh dari pohonnya, bisikan-bisikan mendayu para driad yang-entah apa yang sedang dibicarakan. Semua itu bagaikan himne untuknya, hal yang biasa ia dengar dalam keseharian tak pernah disangkanya sebegini indah. Selaras dengan suasana hatinya.

Mereka duduk di bawah pohon aprikot, menikmati segala bunyi-bunyian yang dipersembahkan alam. Keduanya bersandar pada tubuh satu sama lain, menghirup aroma tubuh masing-masing, mematrikannya dalam ruang-ruang ingatan agar tak pernah lekang. Ia mengangkat kepalanya yang tergeletak di pundak saat gerakan-gerakan kecil ia rasakan dari tubuh yang lebih kekar. Kelopak matanya mengerjap, sensasi menggelikan merambati kepalanya.

Simpul ikatan dilepas, rambut gelapnya jatuh terurai, jari-jemari sang pemuda kini bersemayam di antara ribuan untaian-untaian hitam yang terombang-ambing bebas. Ujungnya menggantung di sekitar pinggang.

"Cantik." Lirihnya.

Darah terkumpul di pipi, menyapukan merah ke permukaan, ia menunduk menyentuh kemeja putih yang dikenakan sang pemuda. Jemarinya terus naik hingga ke leher, rahang kokoh itu diusapnya pelan, bibirnya yang berkilau dan juga hidungnya yang mancung, bulu-bulu mata panjang yang melengkung lentik. Sampai akhirnya ia berhenti pada pita hitam tempat helaian sutranya terkumpul, ia menarik simpulnya, membebaskannya dari lilitan kain tipis yang terasa lembut di tangan.

Mulutnya memang tidak mengatakan sepatah kata namun matanyalah yang berbicara. Mata adalah cerminan hati, semua yang ia rasakan akan terpancar lewat sorotnya. Pemuda itu membaca lewat tatapan, rasa terpukau dan keterpanaan dilihatnya jelas, otot-otot wajah ditarik hingga membentuk lengkungan, pemuda itu mengulas sebuah senyuman.

Dan sekali lagi ia terpana, pada setiap lekukan yang dipahat oleh tangan dewa. Maha karya Prometheus, makhluk kesayangan sang pencuri api.

Kening menyatu, tubuh dijatuhkan ke pembaringan, beralaskan kain lembut pada rumput. Ia memejamkan mata saat jarak yang tak seberapa semakin dipangkas, lalu bibir-bibir bersentuhan saling mengecap rasa.

Ia terbangun saat petang menjelang, gaunnya kusut, rambutnya berantakan. Ia bangkit dari peraduan manakala sadar ruang di sebelahnya kosong tanpa kehadiran si pemuda. Dia pasti sudah pulang, pikirnya. Karpet digulung, langkahnya sedikit terhuyung sebab lembaran kain yang menggembung. Dilewatinya pintu ganda sambil memendam kekecewaan. Kenapa sang pemuda pergi tanpa berpamitan?

Esok harinya ia kembali menunggu kedatangan seseorang yang diharapkannya menjadi pelipur lara. Tapi ia tak merasakan derap langkah lewat tanaman sihirnya. Esok harinya ia kembali menunggu, tiga hari sekali ia menari-nari dengan gerakan-gerakan yang semakin lincah. Seminggu sekali ia memakai gaun merah di tengah rerumputan, rambut yang selalu ia satukan dalam gelungan ia biarkan terurai.

Lethe (Gojo Satoru × Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang