Deru napas berkumandang, derap langkah beradu dengan gesekan dedaunan. Di pagi buta itu ia berlari menyusuri permukaan yang tertutup dedaunan, pada rimbunnya pepohonan di bukit-bukit. Selimut tebal yang menghalangnya dari dingin berkibar-kibar kala kaki beralas sandal yang talinya membelit hingga pergelangan kaki berlari semakin kencang. Lebatnya hutan pohon zaitun ia jejaki tanpa rasa takut sedikitpun. Ibunya bilang ia tak perlu takut pada gelap, orang-orang hanya takut pada sesuatu yang akan muncul dalam gelap, bukan pada kegelapan itu sendiri dan ia mengamininya. Kegelapan yang saat ini menyelimutinya seakan menuntunnya menuju jalan keluar, ia seolah mendapat bisikan 'kemari' atau 'lewat sini'.
Tangannya meraih-raih dedaunan dan butiran-butiran zaitun yang bergelayut rendah, ia tertawa kegirangan. Entah sudah berapa lama kakinya tak menjejak lebatnya hutan, ia rindu berpetualang seperti yang biasa ayahnya ajak saat sedang senggang. Ia pernah diajak bepergian ke pegunungan, melewati jalan-jalan setapak yang penuh dengan pohon yarrow, ia masih ingat warna-warnanya, putih, kuning, merah, dan ungu.
Saat itu ayahnya sedang berburu kijang, kemudian ketika sudah selesai mereka akan beristirahat di bantaran sungai. Pamannya akan mulai menyebutkan nama-nama dari ikan yang berenang santai, kadang juga gesit saat ia melemparinya dengan kerikil. Kalau sudah begitu sepupunya akan menggerutu sebab ujung runcing sebatang kayu yang ia lemparkan meleset dari sasaran-dia sedang belajar menangkap ikan-ikan.
Pamannya akan menunjuk ikan yang bersisik belang, lalu menyebutnya ikan loach. Kemudian yang berwarna keperakan namanya ikan perch, yang satunya lagi vimba. Ah, vimba, ada kejadian menjengkelkan sehubungan dengan ikan itu. Sepupunya yang luar biasa jahil pernah membuatnya hampir berciuman dengan mulut ikan itu, ia masih ingat bau amisnya yang menguar pada jarak yang sedemikian dekat.
Saat perjalanan pulang ia akan melihat trewelu berlari-larian, cepat dan gesit di balik pohon-pohon cypress. Bulunya yang coklat kelabu akan terlihat seperti kelabatan hitam saat mereka melarikan diri. Kantong-kantong yang mereka bawa akan penuh dengan buah pir dan ara yang sudah masak, dipetik sebelum naik ke kuda-kuda dengan tali kekang. Dan ia akan duduk di depan ayahnya sambil memegang kelinci yang baru saja ditarik keluar dari liang persembunyian.
Diciumnya bau garam dari laut yang bergejolak, semilir angin semakin menerpa kulitnya yang tertutup tunik putih selutut. Rambutnya yang sekelam malam ia ikat tinggi-tinggi hingga menyisakan anak-anak rambut yang bergelantungan di sisi kanan kiri pipi. Ia sampai di pesisir saat fajar menyingsing, kemudian mendaratkan diri pada batang pohon zaitun yang telah tumbang, duduk tenang sembari melahap roti dan keju yang ia kemas dengan kain-dicurinya dari dapur saat semua orang terlelap, juga beberapa butir zaitun dan buah ara.
•••
Air laut di hadapannya berkilau-kilau ditimpa cahaya mentari, ia bersembunyi di balik bebatuan karang. Dipandanginya para anak laki-laki yang telapak kakinya sibuk bergulat dengan pasir putih. Matahari mulai meninggi dan anak-anak itu terus saja melempar lembing. Matanya menangkap kelabatan merah di antara helaian hitam dan coklat, segera saja ia memanggil sosok itu.
"Pyrrhus." Panggilnya pelan.
"Pyrrhus."
Ia sedikit memperkerasnya.
"Pyrrhus."
Nadanya naik satu oktaf.
Pelipisnya berdenyut kesal, ia yakin sepupunya itu tidak tuli, lantas kenapa ia pura-pura tak dengar? Bahkan pemuda di sebelahnya hampir saja memergokinya. Digenggamnya sebutir zaitun yang ia sisakan karena kekenyangan, ia mulai membidik dan melemparkannya ke surai merah menyala yang berantakan ditiup angin.
Kena, batinnya senang. Hampir-hampir memekik gembira.
Lembing yang digenggamnya diacungkan tepat ke arah bebatuan karang tempatnya bersembunyi. Ia membidik lagi, mengarahkannya ke kaki-kaki yang tumitnya merah muda merekah. Buah zaitun yang mengenai kakinya itu ia ambil, sepupunya kemudian berbincang dengan anak laki-laki yang mengerumuninya lalu melangkah ke arahnya seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lethe (Gojo Satoru × Reader)
FanfictionKetika Moirai telah mengambil peran dalam kehidupan suatu makhluk, memintal benang kehidupan mereka, mengukurnya, kemudian memotongnya dengan gunting kebencian. Maka tak ada suatu tempat di dunia untuk bersembunyi ataupun melarikan diri. Takdir tel...