5

140 18 0
                                    

Matanya terbuka lebar, ia terkesiap, jemarinya meraba-raba, mencari-cari pria di sampingnya yang menghilang. Ia beranjak dari posisi duduknya, menyambangi box bayi di seberang ranjang, mengintip sosok mungil yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Kakinya melangkah mencari, menyusuri setiap sudut ruangan pada apartemen tempatnya bernaung semalam.

Tidak ada.

Pria yang dicarinya tidak ada di manapun. Ia kembali duduk termangu di atas kasur. Bertanya-tanya apakah kejadian semalam hanyalah keinginan yang bermanifestasi dalam bentuk mimpi atau sekedar halusinasi? Atau memang benar-benar terjadi? Ia menghela napas lelah sembari mengurut pangkal hidungnya. Sedikit pusing dengan bola mata yang terasa pedas, tanda nyata kalau ia menangis sebelum tidur.

Kelopak matanya mengerjap, otaknya memutar ingatan, temenung di pagi hari yang cerah tanpa satupun awan menggantung. Ia bermimpi buruk, saking buruknya ia tak akan mau mengingat-ingat lagi apa yang terjadi dalam bunga tidurnya. Ia meraih secarik kertas dan kepingan logam- yang ia duga sebagai sebuah simbol keluarga-di atas meja yang sempat luput dari pandangan. Seharusnya ia mencuci wajah dan menenggak segelas air dulu sebelum mencari, mengingat kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul.

Kertas dalam genggamannya terjatuh, ia membeku.

Pria yang dicarinya berada di Shibuya.

Tempat terkutuk yang barusan ia mimpikan.

Disambarnya ponsel yang tergeletak manis di dalam laci, mengecek tumpukan pesan yang terkirim. Ia bergegas berkemas, merapikan diri kemudian tanpa ragu menuju alamat yang terpampang pada layar ponsel yang berkedip pelan.

•••

Tangan yang terangkat untuk mengetuk pintu besar di hadapannya terhenti, mengambang di udara. Ia menilik pada bayi yang sedang ia ampu, mengusap pelan keranjang rotan yang berlapis kain tebal tempatnya berbaring nyaman. Diletakkannya keranjang rotan itu di depan pintu, membelai kepalanya lalu mengecupnya dengan sayang, matanya menyiratkan ketidakrelaan. Diintipnya selimut yang sedikit tersingkap, memastikan surat dan kepingan logam telah terselip lengkap.

Ia bangkit, mengetuk pintu beberapa kali hingga mendengar suara langkah kaki. Bersembunyi ketika sosok di seberang memunculkan diri, menolehkan kepala dengan heran saat melihat keberadaan seorang bayi-yang sekali lihat untuk disapihpun belum cukup umur, mencari-cari siapakah dalang di balik perbuatan itu sebelum bilah kayu kembali beradu, menutup satu-satunya akses keluar masuk.

Ia melihat wanita berumur lebih dari setengah abad itu mengambil benda yang ia selipkan, langkahnya kemudian terpogoh di antara tiang-tiang kokoh, pada lorong di tengah pekarangan yang berhias bunga berbentuk corong. Setelah memastikan keduanya menghilang di balik daun pintu yang menutup, ia berbalik, mengambil langkah seribu ke tempat yang ingin ia tuju.

Shibuya.

•••

Ia mendengus jengkel. Pria dengan enam mata yang dicarinya telah terkurung, ditundukkan oleh lawan, tersegel dalam sebuah kotak.

Semuanya sama seperti yang ia impikan semalam, darah yang berceceran, mayat yang bergelimpangan, suasana kota yang carut-marut, kelam mencekam. Muram. Ia membidik pada kumpulan makhluk terkutuk yang berduyun-duyun mengerubunginya. Seperti semut mengerumuni gula. Anak panah hitam mengilatnya melesat menembus daging mereka dan mengubahnya menjadi abu.

Darah menetes dari ujung tombak yang ia hunuskan, sudah berapa kali ia menebas kepala mereka? Sepuluh kali? Lima belas kali? Lima puluh kali? Tak terhitung, seakan tak ada habisnya. Ia menghela napas lelah, melangkah menuju warga sipil yang terluka. Orang-orang itu tergolek, merengek, lemah tak berdaya. Dalam hati ia menrutuki makhluk fana yang begitu rapuh, tergores sedikit sudah mengeluh. Ia duduk bersimpuh di hadapan tubuh yang ambruk, mengulurkan tangan mengeluarkan sihir penyembuh.

Lethe (Gojo Satoru × Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang