10

98 13 0
                                    

Ponsel pintarnya berdering mengumandangkan bunyi-bunyian agar sosok yang tengah terlelap segera membuka mata. Dengan penuh keengganan diulurkanlah tangan untuk meraih seonggok teknologi yang telah susah payah diciptakan kaumnya. Ia duduk sembari mengumpulkan kesadaran. Segelas air yang telah disediakannya di atas nakas sebelum ia tidur ditenggaknya perlahan, tangan kirinya tergerak menggaruk kepala. Seusai melepaskan dahaga netranya beralih pada wajah damai dari sosok yang masih sibuk menjelajah mimpi. Ia tersenyum saat pergerakan kecil terlihat pada dahi yang kini berkerut.

Ia bangkit menuju pintu, tombak di sudut ruangan dan keranjang bayi dilewatinya begitu saja. Seolah kehadiran kedua benda itu tak pernah ada.

"Makanlah."

"Satoru, kau tahu aku tidak butuh makan 'kan?" balasnya.

Pria yang sudah rapi dalam balutan seragam mengajarnya itu bergumam tak suka. Perhatiannya masih tertuju pada makanan yang ia siapkan dengan tangannya sendiri.

"Sebaiknya cukur saja kumis dan juga rambut-rambut di sekitar rahangmu itu. Kau terlihat seperti Santa Claus yang belum lulus masa pelatihan."

"Mungkin besok." Ucapnya. Sosok di hadapannya mendengus, tanda tak sepemikiran.

"Lebih cepat lebih baik."

"Hm." Sahutnya.

Ia berdiri mengemasi barang-barang yang hendak ia bawa. Kemudian kaca mata hitam ia kenakan, sebenarnya ia tidak lagi membutuhkan penutup mata atau semacamnya, ia hanya tidak suka menjadi pusat perhatian karena warna rambut dan matanya yang begitu mencolok. Tidak ada lagi kuasa teleportasi semenjak beberapa waktu yang lalu, dan ia harus rela berjalan kaki.

"Kapan kau akan mengembalikan tombak itu? Trygon pasti sedang menunggunya di dasar lautan sekarang."

Wanita itu bersandar pada dinding sewarna gading, ia menoleh untuk menatap sosok yang tengah diam memandanginya dengan senyuman.

"Aku tidak akan mengembalikannya." Jawabnya kala pintu apartemen ditutupnya kasar setengah dibanting.

•••

"Tidak ada lagi yang akan dieksekusi 'kan?"

Sang pria pemilik rambut putih menghempaskan diri pada bantalan empuk sofa di tengah ruangan beraksen tradisional. Ia menghela napas tatkala ingin bergegas melepas penat seusai diskusi panas dengan para petinggi yang tak pernah luput mengeraskan kepala mereka. Perundingan kala itu berjalan alot, ruangan rapat kian lama kian menyesakkan dada. Lidahnya tak sabar ingin segera mengecap makanan manis, otaknya diputar keras sementara kesabarannya semakin dikuras. Tubuhnya perlu sesuatu untuk diubah lagi menjadi energi.

"Kalaupun ada, aku yang akan melakukannya." Jawabnya. Pikirannya melayang pada toko kue yang ditemuinya saat berangkat tadi.

"Bagaimana kalau mereka tidak mencabut hukuman eksekusimu, apa kau akan membunuh dirimu sendiri?"

"Aku-"

"Gojo-san, anda berbicara dengan siapa?"

Ijichi memasuki ruangan sembari membawa beberapa berkas di tangan. Gojo terdiam, wanita yang duduk di sebelahnya mengedikkan bahu.

"Aku hanya khayalanmu, Satoru. Berhati-hatilah dalam berbicara kalau tidak mau dianggap gila." Ucapnya.

Sang wanita berdiri, ia melangkah menuju belakang kursi yang diduduki Ijichi, sesekali kepalanya mengangguk-angguk saat meneliti berkas yang tengah asik dibolak-balik.

"Sepertinya pemulihannya berjalan lancar."

"Memang."

Ijichi mengernyitkan dahi, "Gojo-san?"

Lethe (Gojo Satoru × Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang