Bonus

175 12 2
                                    

Kuroo Tetsurou tidak pernah benar-benar tau siapa wanita yang kerap mondar-mandir di ruangan kakeknya. Wanita yang rambutnya selalu digelung itu datang bertandang tanpa seorangpun tau dari mana ia datang. Anehnya, tak ada yang merasa keberatan perihal kehadiran sang wanita kecuali dirinya. Ya, kecuali dirinya.

Ia tak suka kerlingan matanya, ia tak suka sikapnya yang kadang begitu tenang dan kadang bisa begitu menjengkelkan. Ia tak suka caranya berjalan dengan dengan kepercayaan diri dalam genggaman. Ia tak suka ketika wanita itu menjerumuskannya pada karya-karya Sir Arthur Conan Doyle–yang kemudian mengilhaminya untuk menjadi seperti sang detektif idola dalam petualangan-petualangan penuh aksinya. Ia tak suka ketika wanita itu menghilang tanpa memberinya kabar.

Ia baru lima belas tahun tatkala melihat helai-helai hitam itu disisir kemudian disatukan dalam gelungan. Wanita itu tidak menyadari keberadaannya kala itu, ia tidak melihatnya lagi saat wanita itu di koridor, pada belokan yang baru saja dilaluinya.

"Dia cucumu?"

"Sudah sebesar itu? Terakhir kali kulihat dia masih dalam gendongan ibunya."

Ia mengernyit keheranan ketika sedang merapatkan diri pada dinding. Memangnya wanita itu pernah melihatnya sewaktu ia masih bayi? Kalau memang begitu, maka sebenarnya seberapa tua wanita itu? Dan kenapa penampilannya masih seperti wanita di awal dua puluh tahunan?

•••

"Tahukah kau? Publik begitu marah saat Doyle menuliskan karakter Sherlock holmes tewas bersama musuh bebuyutannya, James Moriarty, di Air Terjun Reichenbach."

"Seharusnya kau beritahu aku sejak awal. Aku juga sempat marah pada Doyle saat mengetahui Sherlock tewas, walaupun pada akhirnya dia hanya berpura-pura mati untuk mengelabuhi musuh-musuhnya."

Wanita itu terkekeh geli. "Tidak asik kalau aku memberitahumu bocoran ceritanya."

Sang pemuda memutar bola mata. "Kalau aku jadi John, aku juga akan menghajar Sherlock karena dia membiarkanku berkabung sedemikian lamanya."

"Sangat tidak lucu ketika kau telah merelakan kepergian seseorang, kemudian orang itu muncul kembali tanpa rasa bersalah. Seolah kematiannya hanyalah lelucon belaka." Tambahnya.

Kemarahannya begitu nyata untuk seseorang yang bahkan tak nyata, pikirnya. Ia bangkit lalu melangkahkan kaki melewati kursi-kursi tempat mereka berbincang santai. Pintu dari ruangan dengan kaca besar yang menampilkan luasnya halaman belakang di putarnya pelan.

"Mau kemana?"

Ia menoleh, "Pergi. Ke suatu tempat yang bisa kau sebut rumah."

"Di mana tepatnya?"

"Di manapun aku merasa nyaman."

"Jadi kau tidak nyaman berada di sini?" ditutupnya buku yang tengah ia baca.

"Tidak juga. Tapi bukannya kau tidak suka jika aku berada di sini lebih lama?" ucapnya jenaka.

Pemuda itu merasa tertohok. "Ya sudah, pergi sana! Pergi dan jangan kembali." Ujarnya kesal.

Sang wanita tertawa lalu menghilang di balik daun pintu.

•••

Ia tidak bisa melihat batang hidung wanita itu lagi semenjak ia lulus dari sekolah menengah atas. Tidak bahkan saat hatinya begitu mendamba untuk bertemu sang wanita. Di tengah kesibukannya mempersiapkan diri untuk memasuki bangku kuliah, biar ku beri tahu kalian satu hal. Satu hal yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat pada lubuk hatinya.

Kuroo Tetsurou menyukai wanita itu.

•••

"Sialan!"

"Berani-beraninya kau mengumpat di depan klienmu sendiri." Ucap seseorang yang lebih pendek.

Ia mendengus. "Oh, ayolah. Kasusmu sangat-sangat tidak menarik, kau datang kemari hanya untuk mengundangku untuk datang ke acara reuni 'kan? Orang waras mana yang ingin mengadakan acara semacam itu di tengah keaadaan yang kacau balau seperti ini."

"Kuroo-san, setidaknya–"

"Tidak, Lev. Sekali tidak tetaplah tidak. Aku masih ada urusan malam ini. Sekarang keluar dari ruanganku dan temui Akaashi, dia akan dengan senang hati memecahkan kasus kalian." Ucapnya sembari memaksakan senyuman.

"Kenapa harus ke tempat Akaashi-san? Bukannya kasus ini cuma akal-akalan Yaku-san saja? Atau–Urgh."

"Diamlah Lev." Ia berujar selepas melayangkan satu pukulan.

•••

Ia menghela napas lelah seraya menjatuhkan diri di kursi putar, kedua kakinya ia luruskan di atas meja. Persetan dengan tata krama, pikirnya. Lagipula, yang ada di ruangan ini hanyalah dirinya seorang. Pesan yang dikirim oleh sobatnya dibacanya ulang, kemudian kembali berdecak kesal saat wanita yang telah lama tak ia jumpa mengunjungi rumah kakeknya lagi. Ia melewatkan kesempatan untuk bertemu dengannya.

•••

"Halo, Tuan Detektif. Bagaimana kabarmu?"

Lagi. Senyuman itu dilihatnya lagi kali ini.

"Kau sama sekali tidak berubah." Ucapnya datar.

Wanita itu mengernyitkan dahi kala mencium bau tembakau menguar dari pria di sampingnya. "Sejak kapan kau merokok?"

Ia berdehem. "Bukan urusanmu. Kenapa kau datang kemari?"

"Aku hanya meminta sedikit bantuan kepada kakekmu." Ucapnya semari menatap rerumputan.

"Bantuan apa yang kau minta?"

Iris sewarna madu itu memandanginya. "Kau akan mengetahuinya nanti, bersabarlah."

•••

"Tidak bisa kubayangkan bagaimana jadinya jika kau menggunakan bakatmu untuk kejahatan. Kerja bagus, kawan."

Sebuah tepukan bersarang pada pundaknya.

"Tenang saja, Bro. Aku tidak akan menyalahgunakannya." Sahutnya jenaka.

Teman karibnya itu tertawa mendengar apa yang barusan ia katakan. Pria yang kerap dijuluki burung hantu itu kemudian meninggalkan ruangan.

Ia melihat ayah dan anak itu duduk berdekatan, si anak terlelap dalam buaian sementara sang pria dewasa tengah berbincang dengan seorang lansia. Ia tidak tahu apa-apa saja yang mereka perbincangkan dan ia memang tak berniat mengetahuinya. Baginya, duduk dan mengamati keduanya dari jauh sudahlah cukup.

Tidak ada yang berubah dari ruangan yang dulu kerap dijadikannya tempat membaca karya-karya sastra. Jari-jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Ia rasa, perubahan yang paling signifikan adalah pada dirinya. Dirinya yang sekarang berbeda dengan dirinya dari delapan tahun silam. Pola pikirnya berbeda, caranya memandang dunia sudah berbeda.

Ia masih bisa mengingat wanita itu duduk di hadapannya, melontarkan apapun yang sekiranya dapat dijadikan bahan perbincangan. Ah, wanita itu pasti juga melakukannya dengan seorang pria di seberang sana. Barangkali lebih banyak pembicaraan-pembicaraan yang terjadi antara si wanita dengan pria itu daripada dengannya.

Ia bukannya tidak mengenal pria di ujung sana, ia tahu identitas pria itu, ia tahu siapa nama kedua orang tuanya, di mana ia tinggal dan juga perjalanan karirnya. Bukan perkara sulit untuk mengorek semua informasi dari berbagai sumber, hal itu memanglah keahliannya. Satu-satunya hal yang tidak diketahuinya adalah mengapa sosok yang telah tiada memilih pria itu sebagai labuhan hatinya. Dikedikannya kedua bahu, sepertinya ia tidak perlu tahu. Toh, itu juga bukan urusannya. Bukan lagi sesuatu yang harus ia urus.

Ingatan tentang wanita itu memang tidaklah mungkin ia lupakan. Lagipula, ia juga belum menyentuh kebenaran perihal identitas sang wanita. Semua masih samar-samar baginya. Tidaklah mengapa jika sang kakek memang menyembunyikan kebenaran di balik sosok misterius itu padanya. Ia akan mencari tahunya sendiri, dan kapan ia akan berhasil mengungkap identitas asli sang wanita; ia tidak tahu. Mungkin sebentar lagi, sebulan lagi, atau setahun lagi, atau bahkan tidak selama-lamanya.

•••



Yeay!
Sekarang beneran selesai.
Bye bye, guys🙂

Lethe (Gojo Satoru × Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang