9

86 15 0
                                    

Yuji mengerjapkan mata tatkala sinar menyilaukan menimpa iris cokelat terangnya. Ia termangu di ceruk yang tak bisa disebut gua itu. Udara segar pagi hari memenuhi rongga dadanya, angin sepoi manyapa lembut kulit wajahnya. Ia masih memandang tak percaya, benar, ia masih tak percaya jika ia bisa menikmati langit-langit biru itu lagi. Daun-daun dari tanaman liar itu dicekalnya erat, tanah berbatu ia raba. Rasanya masih sama aja, sama ketika ia masih hidup. Ia bangkit, selimut tebal yang entah darimana menutupi tubuhnya dilipatnya rapi.

"Sensei."

Wanita itu berdiri di sana. Pada bebatuan dan pasir-pasir putih, juga dinginnya ombak yang menerpa sela-sela jemari kaki. Ia memegang sebilah tombak yang ujungnya tertutup kain.

"Yuji! Bagaimana keadaanmu?" tanyanya.

Yuji menggaruk tengkuk. "Yah, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja."

Sang guru tersenyum lalu beranjak menjauhi tepi pantai. Butiran putih menempel pada tumit yang selesai bergumul dengan tumpukan pasir. Kaos kaki ia kenakan dan tali sepatu ia kencangkan. Tanganannya melambai-lambai memerintahkan sang pemuda untuk mendekat.

"Seharusnya aku sudah mati."

"Kata siapa?" netra sewarna madu itu memandang sang pemuda yang tengah gelisah.

"Kataku. Aku tak seharusnya hidup kembali."

"Sukunalah yang harus mati, dan bukan kau. Kau pantas untuk hidup." Ia mulai melangkahkan kaki kembali pada ceruk yang dikelilingi dengan bebatuan dan semak belukar. Mereka harus pergi sebelum ada seseorang yang datang kemari.

"Sensei, tombak apa yang kau bawa?"

Ia menoleh sebelum sampai di tepi ceruk, sebuah kerikil tertendang olehnya kemudian mendarat pada batu yang lebih besar.

"Oh, ini tombak yang terbuat dari ekor Trygon."

"Dari mana sensei mendapatkan tombak itu?"

"Seseorang meminjamkannya padaku dan nanti setelah selesai harus dikembalikan lagi ke laut." Apakah dewa pantas disebut dengan seseorang?

"Kenapa laut?"

"Karena dari sanalah ia berasal." Dari daging kelabu dan aliran-aliran emas ichor saat ekornya terpotong.

"Aku tidak mengerti."

Ia tertawa kecil, "Kau tidak perlu mengerti, Yuji. Sekarang melangkahlah ke dalam bayangan." Ucapnya.

Yuji menginjakkan kaki dalam bayang-bayang ceruk, tangan sang guru yang terulur disambutnya. Saat jari-jemari itu tergenggam seketika itu pula keduanya lenyap dari pandangan.

•••

Cairan bening dalam wadah kaca itu melambangkan keegoisannya. Ia memang egois, ia berniat mengikat sang kekasih hati agar gelora asmara yang dirasakannya saat ini senantiasa tertambat padanya, bahkan setelah kematian merenggutnya dari dunia yang fana ini. Ia melirik ke arah ruang tengah, di sana Yuji tengah menyantap sepotong roti yang diambilnya dari minimarket terdekat tadi. Pemuda itu makan dengan lahap, pipi-pipinya menggembung, penuh dengan adonan-adonan dari gandum yang berbau harum-yang kini sedang dilumatnya dengan gigi-gigi geraham.

Ia meracik, meracik, dan terus meracik. Air yang diambilnya dari kolam Lethe manakala ia berada di tanah orang-orang mati dituangkannya ke dalam periuk. Letak kolam itu berseberangan dengan kolam Mnemosine, di mana para roh yang meminum airnya akan mendapatkan kembali ingatannya. Dan wadah kaca yang pertama kali diperlihatkannya tadi menampung cairan dari mata air itu. Ia tidak tahu apakah khasiatnya akan terasa jika diminum oleh manusia. Akan tetapi patut dicoba, begitu pikirnya.

Lethe (Gojo Satoru × Reader)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang