Isak tangis itu mengguncang indera pendengarannya, langkahnya cepat-cepat menghampiri sumber suara dan betapa mengejutkannya kala ia menemukan seorang anak laki-laki duduk dengan tangan tertelungkup di atas lutut, bahunya naik-turun, senggukan demi senggukan terus meluncur. Netranya menelusuri busana yang dikenakan selagi anak itu tak menyadari kehadirannya. Kain-kain halus dengan warna senadayang terjahit rapi. Sulaman yang merekat, sepatu licin dan mengilat, semua tak luput dari pengamatannya. Putra orang berada.
"Hei, nak. Apa yang kau lakukan di sini?"
Linangan air mata tercetak jelas di pipi manakala anak itu mengangkat kepala, "Aku, aku tersesat." Isaknya.
"Oh, kau tersesat. Kemarilah, akan kuantar kau menuju tepi hutan." Ucapnya sembari mengulurkan tangan kanan.
"Tapi ibu bilang aku harus berhati-hati dengan orang asing."
Sebelah alisnya terangkat, "Kau mau pulang tidak? Hari mulai gelap asal kau tahu." Tunjuknya pada langit yang tertutup dahan-dahan, gumpalan putih berarakan seakan berlomba, berkumpul menjadi mendung. Anak itu menyambut uluran tangannya ragu-ragu.
"Aku tidak akan bernasib sama seperti Hansel dan Gretel 'kan?"
Ketukan sepatu miliknya tak berhenti barang sedetikpun, jengkal demi jengkal tanah ia susuri dengan hati-hati. Telapak tangannya yang semula kosong kini mengenggam tangan yang lebih kecil. Kalimat itu berdengung dalam telinganya, bersama dengan derak batang-batang cokelat berkerak dan juga embusan angin petang.
"Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Karena bisa saja kau aslinya bukan manusia tapi penyihir."
Genggamannya sempat terlepas saat anak itu mengambil lompatan besar melewati tanah berlubang, alih-alih berjalan menghindar di pinggiran. Ia sedikit tercengang pada ucapan yang tepat sasaran, jika percakapan ini adalah sebuah laga maka ia sudah kalah telak.
"Apa buktinya kalau aku penyihir atau bukan?"
"Emm, aku tidak punya bukti. Tapi sepertinya kau bukan penyihir, hidungmu tidak besar dan berjerawat. Tidak ada keriput juga punggung yang bungkuk."
Ia mendengus geli, "Memangnya ciri-ciri penyihir seperti itu?"
Mata anak itu berkilat, "Tentu saja! Aku membacanya di buku-buku."
"Yang kau baca pasti buku-buku dongeng, buku jenis itu tidak akurat. Cobalah membaca yang lebih berat, jurnal ilmiah misalnya."
Tangannya bersidekap di depan dada, "Aku tidak suka buku-buku seperti itu, menambah pusing kepala saja."
"Bukankah sudah waktunya kau berhenti membaca dongeng? Berapa umurmu sekarang? Sebelas? Dua belas? Kau tidak bisa terus bermain-main, bocah." Ia tak tahan untuk menarik segaris senyum.
"Sebelas, huh? Dan kenapa kau terdengar seperti guruku?" rajuknya.
Senyumnya semakin lebar saat sadar akan suatu hal, "Ohoho, apakah itu sebabnya kau tersesat di hutan ini sendirian? Melarikan diri, heh?"
"Aku tidak melarikan diri! Aku hanya ingin menghirup udara segar." Sanggahnya.
"Ya, ya. Menghirup udara segar sampai lupa jalan pulang lalu menangis seperti bayi."
Oh, betapa ia menikmati kerutan yang semakin bertumpuk pada keningnya itu. Alis-alisnya yang menukik tajam dan sepasang manik biru yang menatap nyalang. Helaian-helaian seputih salju berayun saat kakinya menghentak murka. Jari-jemari itu merogoh saku, mengeluarkan benda yang meninggalkan serbuk putih di sela-sela buku jari.
"Lihat ini! Aku menandai pohon-pohon yang telah kulewati dengan kapur, tapi saat aku menoleh ke belakang tak ada satu batangpun pohon yang tergores. Mereka seperti bertukar tempat satu sama lain. Aku mencari-cari batang bertanda hingga kelelahan dan apa yang aku dapat? Kemanapun aku melangkah akan selalu dibawa ke tempat semula, berputar-putar tiada akhir!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lethe (Gojo Satoru × Reader)
FanfictionKetika Moirai telah mengambil peran dalam kehidupan suatu makhluk, memintal benang kehidupan mereka, mengukurnya, kemudian memotongnya dengan gunting kebencian. Maka tak ada suatu tempat di dunia untuk bersembunyi ataupun melarikan diri. Takdir tel...