Helaan napas meluncur dari mulut kala kaki yang berbalut sepatu bercumbu dengan putihnya pasir. Pada karees itu ia mengedarkan pandangan, air di depannya tampak begitu jernih hingga bebatuan yang terletak di dasar terlihat sangat jelas. Semakin ke tengah maka warna air akan semakin biru, walaupun begitu bagian sungai yang dijejakinya ini tak begitu dalam, tak sampai sebadan. Ia menatap tebing-tebing kokoh yang berdiri menjulang dengan beberapa aksen hijau dari pohon yang seakan tumbuh merayapinya dari kejauhan. Sungguh mempesona, tapi ia kemari bukan untuk menikmati keindahannya.
Tubuhnya perlahan-lahan masuk ke dalam air, menyusuri setiap jengkal bebatuan yang tertangkap oleh mata, bunyi kecipakan bersahut-sahutan kala ia semakin melangkah jauh dari tempatnya semula berdiri. Ia mengusap dahinya yang basah karena cipratan air, gurat lelah tampak menghiasi paras ayunya.
Diseretnya kedua kaki yang terendam air menuju tepian, ia duduk di atas sebongkah batu yang puncaknya menyembul ke permukaan, batu itu ia pilih karena dirinya enggan untuk duduk di atas pasir, tak mau pakaiannya belepotan dengan butiran-butiran putih. Matanya tak berhenti mencari-cari, barangkali ada sesuatu yang terlewati.
Ia mendongak pada birunya langit yang kini menampilkan guratan jingga, kuning, dan merah yang membentuk sandikala. Sudah seharian ini ia mencari di sepanjang sungai Acheron mengalir. Ia terbang melintasi Epirus, berputar-putar dari hulu ke hilir sungai, namun pencariannya tak kunjung usai.
Apa gerbang menuju dunia bawah yang dicarinya tidak ada di sini? Atau ada di sisi lain Yunani? Haruskah ia pergi ke Taenarum, seperti yang dilakukan Psyche dan juga Orpheus? Atau ke kawah Avernus yang ada di Italia? Jangan bilang kalau ia harus menyebrangi samudra sebagaimana Odisseus saat diberitahu oleh Circe. Tidak, terlalu lama dan sudah kepalang tanggung ia di sini. Ah, kepalanya terasa pening memikirkan hal itu. Terkutuklah pada otaknya yang tidak merekam bagaimana ia pernah masuk ke dunia itu, atau memang tak pernah ia lihat sedikitpun kiat-kiatnya? Ah, ya! Ia samar-samar mengingat peristiwa itu, dan ia memang tak pernah menyaksikannya secara langsung, tau-tau saja dirinya sudah terbangun di dunia lain. Semua tempat yang ia ketahui saat ini hanya berdasar pada cerita-cerita yang beredar, sangatlah pantas dipertanyakan perihal kredibilitasnya.
Ia sedang bersandar pada sebuah batang pohon kala telinganya mendengar langkah kaki di malam yang gelap. Ia bertanya-tanya siapa gerangan yang menghampirinya di sudut terpencil sungai yang tak terjamah manusia lain tempatnya beristirahat.
"Putri dari Hecate, sedang apa kau di sini?"
Ia bangkit dalam kegelapan, memasang sikap waspada, hampir-hampir ia keluarkan busur kesayangannya kalau saja ia tak mengenali sosok di hadapannya. Caranya berbusana cukup nyentrik-kalau tidak mau disebut norak, penuh aksen sayap putih kecil. Tubuhnya yang atletis dibalut dengan jubah merah dan chiton sewarna gading, puncak kepalanya tertutup oleh petasus-topi dengan hiasan sayap putih kecil di kanan-kiri, kakinya beralas talaria-sandal bersayap, tangannya menggenggam kadukeus-sebuah tongkat dengan dua ular kembar melilit berlawanan arah dan lagi-lagi sepasang sayap pada pangkalnya.
Maniak sayap, pikirnya.
"Aku, aku ingin pergi ke dunia bawah tapi tak tau harus bagaimana."
Sang dewa pengelana itu menatap dirinya lewat sorot mata tajam di bawah sinar bulan, sayap-sayap kecilnya berayun pelan. Mendadak ia gugup, harap-harap cemas jika sang dewa bisa membaca apa yang barusan ia pikirkan.
"Aku bisa mengantarmu kalau kau mau, tapi tentu saja hanya sampai ke tempat Charon. Kebetulan aku ada urusan dengan Hades, bagaimana? Mau?" tawarnya dengan tangan terbuka.
Tentu saja ia mau! Setelah seharian kebingungan mencari akhirnya datang juga bantuan. Ia mengangguk mengiyakan.
"Baiklah, ikuti aku!" ucapnya sembari melangkahkan kaki memasuki air hingga ke tengah-tengah. Ia mengikutinya tanpa curiga, kembali mencelupkan diri pada dinginnya air.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lethe (Gojo Satoru × Reader)
FanfictionKetika Moirai telah mengambil peran dalam kehidupan suatu makhluk, memintal benang kehidupan mereka, mengukurnya, kemudian memotongnya dengan gunting kebencian. Maka tak ada suatu tempat di dunia untuk bersembunyi ataupun melarikan diri. Takdir tel...