Begitu sampai di rumah sakit, mereka langsung disambut oleh beberapa suster yang memang cepat tanggap menyediakan brankar untuk Rayyan.
Dean meletakkan Rayyan perlahan di atas brankar dorong, mereka semua bergegas mendorong brankar itu ke arah ruang UGD yang letaknya terbilang lumayan jauh.
Di sana juga ada Jefran yang ternyata sudah lebih dulu ke rumah sakit saat mendapat kabar bahwa Rayyan sudah ditemukan.
Sesampainya di ruang UGD, pintunya langsung ditutup oleh suster saat melihat Marchessa yang ingin ikut masuk.
"Keluarga dan teman pasien bisa menunggu di luar."
Marchessa berdecak kesal, ia mengusap wajah kasar dengan nafas yang masih tidak beraturan, akibat terlalu banyak berlari dan dilingkupi rasa khawatir.
Jefran menyandarkan sisi tubuhnya ke dinding dengan kepala tertunduk. "Kalian nemuin Rayyan di mana?"
"Gudang," jawab Dean singkat, ia mengambil tempat duduk di samping lorong yang sudah disediakan.
"Anjing! Tua bangka itu awas aja kalo ketemu gue, habis lo tai!" racau Marchessa sembari mondar-mandir di depan pintu UGD.
"Tenang Ca," tutur Jefran.
"Gimana bisa tenang?! Lo liat aja keadaan Rayyan separah apa Jef!" sentaknya.
"Ya kalo lo begitu gak bakal nyelesain masalah Ca, lebih baik lo duduk, tenangin diri dulu," titahnya pelan sembari menunjuk bangku di sebelah Dean dengan dagunya.
Marchessa mendengus, namun tak ayal mengikuti titah sang sahabat, mendudukkan diri dibangku yang sama dengan Dean namun mengambil jarak yang cukup terpaut jauh.
Lama mereka menunggu dengan diselimuti keadaan yang hening sebab ini sudah dini hari, waktunya semua orang mengistirahatkan diri.
"Keluarga pasien?"
"Saya saudaranya Dok!" sahut Marchessa cepat sebelum Jefran mengatakan bahwa mereka adalah temannya.
Sebab biasanya sang Dokter tidak mau memberitahu keadaan pasien secara rinci jika bukan pada keluarga.
Dean mengernyit bingung, namun raut wajahnya dinormalkan kembali beberapa saat kemudian.
"Bagaimana keadaan pasien Dok?" Jefran buka suara.
"Kaki pasien mengalami cidera yang cukup serius akibat benturan yang terlalu keras dan seperti bekas pukulan?"
"Pukulan?" Dean membeo.
Dokter tersebut mengangguk mengiyakan.
"Terus gimana Dok?"
"Untuk satu atau dua minggu ini pasien disarankan untuk menggunakan tongkat terlebih dahulu untuk menunjang proses penyembuhan," jelasnya.
Mereka mengangguk paham.
"Setelah pasien dipindahkan ke ruang rawat, kalian bisa menjenguknya."
***
Perlahan mata yang sedari tadi tertutup itu mengerjap, merasakan silaunya lampu yang menusuk netranya, sebelum mata itu terbuka sempurna.
Rayyan menarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan, ternyata ia masih hidup.
Lelaki bersurai coklat itu berusaha mendudukkan diri dengan susah payah.
Dean yang tertidur di kursi sebelah Rayyan merasa terganggu dengan suara gusrak-guaruk tersebut.
Ia mengucek mata pelan. "Oh lo udah sadar," gumamnya pelan.
"Haus," suara serak lelaki itu keluar setelah sekian lama terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRIENDS, HUH?
Teen FictionBUKAN LAPAK BOYS LOVE, GAY, HOMO ATAUPUN LGBT. MASIH BANYAK TYPO REVISI SETELAH TAMAT🙏 N: 16 KEATAS KALIMAT KASAR DAN ADEGAN YANG TIDAK PATUT DITIRU! Awalnya, Rayyan dan Dean merupakan sahabat karib sewaktu SMP. Namun sebuah peristiwa membuat merek...