24. WHO IS HE?

6 3 0
                                    

Gatau lagi alurnya gimana, kelamaan ditinggal mana tiap part yang di draft cuma dikasih judul besar isinya kosong:)

kenapa yaa, jadi penulis cobaannya banyak banget, rasa malas sama gak mood itu musuh besar bangettt

Rayyan terbangun saat merasakan haus ditenggorokannya, ia menoleh ke arah nakas dan mendapati segelas air, berusaha menggapai air tersebut namun tidak bisa. Ia menoleh ke penjuru ruangan, kosong.

Kemana perginya Dean? Bukankah semalam ia berkata menginap untuk menjaganya?

Rayyan mencari letak handphone nya untuk menghubungi Dean. Namun belum sempat ketemu suara pintu yang dibuka lebih dulu mengalihkan atensinya.

Cklek

"Dean? dari mana—Papa?"

Tak biasanya Raihan menjenguk Rayyan seperti ini, apakah Papanya itu khawatir?

Raihan menghampiri brankar Rayyan. "Masih hidup kamu? Saya kira sudah mati," sinis Raihan dengan kedua tangan yang didekap sombong.

Rayyan membeku, memang seharusnya ia tak berharap lebih dari Raihan. Apa yang Rayyan harapkan, bukankah Raihan sangat membenci sang anak?

"Menyusahkan," tambah Raihan.

"Gue masih pengen hidup, kenapa gak lo aja yang mati?" sarkas Rayyan terkekeh sumbang.

Rahang Raihan mengeras, ia tersulut emosi terlihat jelas dari urat lehernya yang menonjol serta buku tangannya yang memutih, sialan!

Raihan mencekik leher sang putra dengan tatapan berapi-api. "Sialan kamu!"

Mata Rayyan membola, berusaha melepaskan cekikan Raihan yang membuat Rayyab semakin sulit bernafas, sial tenaga tua bangka ini terlalu kuat.

"Mati kamu!"

"Uhhuk!"

Brak!

Disaat Rayyan pasrah memejamkan mata, tiba-tiba saja cekikan itu tersentak dan terlepas begitu saja.

Lelaki yang tengah terbaring di atas brankar itu kontan membuka mata dan menghirup pasokan oksigen dengan begitu rakus.

"Dean," gumamnya ketika melihat Dean datang dan menatap Raihan penuh peringatan.

Tak lupa juga dengan Raihan yang sudah terduduk di lantai dengan geraman yang marah.

"Bocah sialan!"

"Om mau pergi sendiri apa saya suruh satpam buat ngusir Om dari sini?" ujar Dean telak.

"Jang—"

"Oh Om mau ajak saya adu jotos? Ayo siapa takut!" Dean menggulung lengan bajunya memperlihatkan otot-otot yang begitu kekar, siap adu jotos dengan ayah temannya itu.

"Sialan, awas kamu bocah tengik!"

Dengan emosi yang begitu menggebu, lelaki paruh baya itu keluar ruangan dengan suara gebrakan pintu yang cukup keras.

Dean menghadap ke belakang, menatap Rayyan yang menatapnya dengan tatapan datar. "Lo gapapa?"

Rayyan membuang muka. "Lo pikir gue bakal ngucapin makasih atas tindakan sok pahlawan lo itu?" sinis Rayyan.

"Hah?"

"Keluar."

"Salah gue apa?"

"Gue bilang keluar ya keluar bangsat!" pekik Rayyan emosi, ia melayangkan tatapan elang.

Si tolol ini, harusnya ia berterimakasih pada Dean karena sudah menggagalkan rencana malaikat maut dalam misi penarikan nyawa dirinya.

Dean keluar dengan rasa kesal yang menggerogoti hatinya, bukannya berterimakasih Rayyan malah membentaknya, tidak tahu diri.

Rayyan menunduk, antara malu dan kesal, ia malu terlihat lemah dan tidak bisa melawan di depan Dean, malu dengan sifat sang Papa pada dirinya, Dan kesal karena Dean sudah berani menyakiti Raihan.

Walau begitu, Rayyan masih sangat amat menyayangi Raihan hanya tertutup rasa sakit hati saja atas perubahan sikap Raihan semenjak beberapa tahun silam.

***

Seseorang menatap sendu batu nisan putih yang sudah lama ada di sana, orang itu mengelusnya seolah itu adalah kepala sang adik. "Lo tenang aja, gue pasti bakal bales semua kelakuan mereka," gumamnya.

"Gue pastiin mereka semua menderita, gak akan ada ampun buat orang yang ngebunuh adek gue," mata orang itu menajam, memancarkan aura kebencian yang sangat pekat.

Tangannya mengepal hingga memutih.

***

Jefran memasuki ruang rawat Rayyan, mendapati sang sahabat sedang memainkan ponsel.

Rayyan menoleh.

"Gimana keadaan lo?"

"Udah lumayan dari sebelumnya," jawab Rayyan seadanya. "Yang lain mana?" lanjutnya, saat melihat hanya Jefran yang menghampiri.

"Mereka PKL, gak di bolehin izin cuti sama pihak industri." Jefran mengambil kursi dan menduduk kan diri di samping Rayyan.

"Lo sendiri?" tanya Rayyan lagi.

"Gue dikasih cuti karna keluarga yang meninggal."

Rayyan teringat ucapan Dean semalam. "Turut berduka cita ya, sorry gue gak bisa ikut ngelayat."

"Sans, lagian juga gak mungkin lo ngelayat dalam keadaan gini."

"Lo lagi berduka Jef, ada baiknya lo pulang aja tenangin diri sama keluarga lo juga,"  tutur Rayyan, ia tak masalah ditinggal sendirian di sini. Lagian juga ia bukan anak kecil lagi.

"Gue gapapa."

"Gak papa mata lo, walaupun kita baru kenal beberapa tahun tapi gue tau Jef lo lagi sedih, lo pulang aja gue gak papa ditinggal sendiri di sini, gue bukan anak kecil lagi," jelas Rayyan panjang lebar.

"Dean mana?" tanya Jefran mengalihkan topik.

Rayyan memutar bola mata malas. "Gue usir," jawabnya singkat.

"Kenapa?"

Rayyan mengangkat bahu singkat, terlalu malas menanggapi apabila topik pembicaraannya adalah orang yang dianggap Rayyan musuh.

Jefran menghela nafas kasar menatap temannya yang serasa kekanak-kanak an ini. "Stop denial, gue tau lo berdua masih saling peduli," tutur Jefran kemudian berlalu pergi meninggalkan Rayyan yang terpaku dengan ucapan Jefran.

Rayyan menggeleng keras menepis pemikirannya. "Sok tau amat, ngapain gue peduli sama dia anjing."

Saat keluar, Jefran mendapati Dean yang tengah duduk di kursi tunggu koridor.

Mereka saling tatap sekilas, kemudian Jefran berlalu pergi sambil terkekeh mengejek.

Dean mengepalkan kedua tangannya.

Makasi banyak yaa

 FRIENDS, HUH?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang