006. Nyaman?

3 0 0
                                    

_Kalau lagi sedih jangan dipendam ya, tumpahkan lewat tangismu, cerita mu dengan buku, gambar ataupun orang lain._


***

"Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah sudah lega dengan ini, hem?"

Aku memastikan kembali pertanyaanku sebelumnya dengan ekspresi datar yang ku pertahankan. Dari tadi, dia masih enggan menjawab pertanyaanku. Sudah dua puluh menit aku di sini, di ruangan yang memiliki nuansa sejuk karena berada di atas ketinggian dengan cat tembok yang berwarna hijau mint, dan aroma obatnya yang khas.

Dia tertawa. Akhirnya, sudah cukup lama aku menunggu reaksinya yang seperti ini. Sepertinya dia merasakan kesenangan tersendiri. Dia menatapku dengan penuh arti lalu mengangguk semangat. Akupun ikut tertawa mengikuti permainannya.

"Apakah ini tidak sakit?" Ku alihkan tawa ini dengan mengusap lengan kirinya.

"Tidak," jawabnya yakin.

"Ayolah, Ren, kalau kau terus menyakiti dirimu sendiri lalu bagaimana kau akan kembali tertawa puas, Hem?" Aku berusaha meyakinkannya kembali.

"Tidak apa Kak Retha, kalau tidak begini aku tidak akan tertawa seperti tadi. Aku juga tidak merasakan sakit, kok,"

Dia kembali tersenyum tipis dengan menyamakan pandanganku. Akupun ikut tersenyum.

"Apakah kau melakukan ini juga karena aku tinggal di jam janji kita waktu itu?" Reni menggelengkan kepalanya pelan.

"Lalu?"

"Aku hanya merasakan sesak yang semakin mendalam saja, Kak. Mungkin memang aku ingin kembali seperti dulu, tapi keadaan saat ini tidak mendukung. Aku sudah lelah sekali," Dia kembali mengulum senyum di bibirnya.

"Benarkah bukan karena aku?"

"Bukan, aku hanya ingin lenyap saja dari dunia. Tapi malah Kak Anna datang di saat sebentar lagi aku berhasil mendapatkan keinginan ku, lenyap." Kali ini bukan senyum yang ia ukir melainkan mulut yang ia manyunkan dengan kepala sedikit menunduk.

Jujur, aku bingung harus menjawab apalagi. Sepertinya posisi kita sama, hanya saja kita masih keliru akan permainan dunia ini. Perkataannya itu juga begitu menusukku, seperti dia juga sedang menjudge diriku ini.

"Mungkin karena tuhanmu menyelamatkan mu? Dia ingin kau lebih tahu tentang indahnya dunia, baiknya dunia, dan ya, keajaiban dunia. Mungkin kemarin kau tak berhasil karena kau keliru, tuhanmu ingin kau melangkah dengan tegap kembali. Kau mau jadi pengacara, kan? Maka jadilah pengacara. Kau masih berumur dua puluh tahun, Reni. Kau masih memiliki kesempatan besar. "

Dia menatapku ragu.

"Apakah benar-benar bisa? Kau tahu kan, aku tidak punya teman, nilaku waktu di sekolah juga tidak bagus. Aku aneh, Kak. Masa aku bisa jadi pengacara?"

"Eits! Jangan salah, untuk ada tidaknya teman, apakah aku ini bukan temanmu? Untuk nilai, apakah kamu yakin nilai itu buruk? Menurutku tidak, itu sudah bagus dengan rata-rata 87 Reni. Kau juga tidak aneh, seperti yang ku katakan sebelumnya. Kau unik, kau mampu menyelesaikan masalah dengan caramu sendiri. Dengan hati, yang pastinya lebih bisa memiliki kemampuan lebih besar mengatasinya. Hanya saja kau masih terlalu banyak menggunakan hatimu. Coba saja kau ikuti perkataan ku, Reni.  Kita baru bertemu tiga kali, empat kali ketika kamu tidak sadar. Tapi aku yakin kamu akan berhasil, kok. "

Dia memelukku lembut, rasanya aku tidak mengingatkan dia melainkan diriku sendiri. Diriku yang saat ini juga sama dengannya. Reni begitu mirip denganku. Kita perasa, dan sulit mengendalikannya ketika masalah bertumpuk.

Setelah bermain kecil, memberinya makan dan membantunya meminum obat aku berpamitan dengan Rinda–Ibu Reni–yang sedari tadi menyaksikan kami berdua. Sepertinya beliau menyaksikan kami dengan beberapa kali kutangkap dia ikut tersenyum dan tertawa. Tidak lupa aku kembali meminta maaf kepada mereka berdua.

J&RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang