Credit cover by noisa_art (Instagram)
⭐ Follow sebelum membaca ⭐
Tidak mudah menjadi Haura. Di rumahnya, Haura harus menghadapi ibunya yang temperamental dan depresif, sementara di sekolah dia selalu menjadi kutu pendiam yang dianggap membosankan.
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-oOo-
"RA? Udah pulang, belom?"
Suara Mahindra berseru dari balik pintu kamar Haura yang tertutup. Sepulang dari gedung pertunjukan sirkus, gadis itu langsung mencuci muka dan merebahkan diri di atas kasur, melewati separuh malam sambil membaca novel Bartimaeus karangan Jonathan Stroud untuk menanti kantuk.
"Udah. Kamu habis dari futsal?" tanya Haura ketika melihat adiknya membuka pintu kamar.
"Iya, baru aja," katanya sambil nyelonong masuk ke kamar Haura, lalu duduk di tepi kasurnya yang tertutup seprai berwarna abu-abu. Mahindra menghirup aroma lembut pewangi ruangan yang familier―aroma segar oceanic dan floral, lalu menyapu pandang dinding kamar kakaknya yang kosong dan muram. Kontras sekali dibandingkan dinding kamar Mahindra yang dipasangi berderet-deret rak gantung sebagai tempat pajangan figure. Ranjang tempat tidur Haura cenderung sepi. Hanya ada satu bantal untuk kepala dan satu guling, tidak ada poster, pajangan dinding, atau boneka-boneka yang biasanya ditemukan bertumpuk-tumpuk di kamar seorang gadis remaja. Satu-satunya yang membuat ruangan ini tampak hidup adalah adanya rak sebesar satu sisi dinding yang terisi penuh dengan buku-buku, dari fiksi sampai non fiksi―yang hampir separuhnya adalah novel-novel berbahasa Inggris luruhan dari neneknya. Walau begitu, semuanya masih tampak menjemukan bagi Mahindra yang ogah-ogahan menyentuh buku kecuali bila terpaksa.
"Ngapain ke kamarku?" Haura bertanya selagi atensinya terpaku pada novel yang dia baca. Nada bicaranya barusan kelewat ketus.
"Ye, pedes amat kayak sambel geprek. Mau minta tolong pasangin ini." Mahindra meletakkan kotak obat di hadapan Haura.
"Hah, kenapa kamu?"
"Ini jariku luka."
"Jatuh pas futsal?"
"Bukan. Kena air panas."
Lalu Mahindra menunjukkan luka melepuh di bagian jempol, dekat dengan kuku. Haura yang mendapati hal itu langsung mendorong dirinya bangkit dari posisi rebah. Dia menggamit pergelangan tangan adiknya dan mengambil plester bergambar bunga tulip dari selipan jari Mahindra. "Jangan sembarangan diplester, Ndra. Ini harus dikasih air dingin, terus diperban dulu," Haura berujar sedikit khawatir.
"Udah kukasih air keran, kok."
"Ngapain sih malem-malem kena air panas?"
Mahindra mulanya diam tak menjawab, namun ujung-ujungnya pemuda itu mengaku walau berat, "Tadi aku bikin Indomie buat Mama, soalnya kayaknya Mama dari siang belum makan apa-apa. Biasalah, emosi lagi gara-gara tidurnya diganggu, terus mangkuknya kesenggol Mama sampai tumpah dikit. Kuahnya kena jariku."
Mama lagi, Mama lagi.
"Cuma kena jempol aja?"
Mahindra mengangguk, dan Haura bertanya lagi, "Mama gimana?"