Credit cover by noisa_art (Instagram)
⭐ Follow sebelum membaca ⭐
Tidak mudah menjadi Haura. Di rumahnya, Haura harus menghadapi ibunya yang temperamental dan depresif, sementara di sekolah dia selalu menjadi kutu pendiam yang dianggap membosankan.
...
Chapter kali ini akan membawamu ke momen menebak-nebak yang bikin gregetan. Hope you enjoy!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-oOo-
Bab 12 Keputusan Sagara
PERJALANAN pulang ke rumah Haura bisa dibilang biasa-biasa saja. Jauza menyetir dengan tenang, tanpa bicara apa pun, sementara Haura menghabiskan waktu untuk memelototi jalanan yang berkelebat cepat di balik jendela. Di antara kesunyian yang meregang, Haura menjadi satu-satunya yang menyimpan banyak pertanyaan di pikiran.
Apakah tindakannya tadi sudah benar? Haura diliputi keraguan setelah dengan nekat menyatakan keinginannya menjadi pembantu di rumah orang. Kalau Mama dan Mahindra mengetahui hal ini, mereka pasti marah besar. Haura disekolahkan untuk menjadi wanita karier yang menjalankan bisnis mandiri, atau setidaknya menjadi pegawai yang bekerja di perusahaan besar, bukannya malah berurusan dengan dapur dan cucian orang lain. Oh, dia tak bermaksud mengatakan kalau pekerjaan pembantu itu buruk, tetapi keluarganya punya pandangan sendiri serta aturan yang tidak bisa dibantah.
Wataknya yang impulsif telah membawanya sampai ke titik ini. Haura tidak bisa mengurungkan niatnya lagi, sebab tak mau kehilangan muka di depan Jauza dan kawan-kawan. Dia kan sudah berniat untuk membantu sirkus Sagara, mana mungkin tiba-tiba menolak?
Biarlah, kata Haura meyakinkan diri. Untuk saat ini, Haura akan menyembunyikan semuanya pada keluarga di rumah. Berdusta itu urusan gampang bila untuk kebaikan.
Saat lamunannya mulai berubah menjadi kantuk, Jauza berseru, "Sudah sampai, Ra."
"Oh, sudah?" Gadis itu mengintip bayang-bayang pagar rumah dari jendela mobil. Dalam hati berdoa, mudah-mudahan mamanya tidak melihatnya diantar pulang seorang laki-laki.
"Maaf, ya, Ra. Gara-gara kami, kamu jadi pulang malam," kata Jauza dengan raut menyesal. Rambut pemuda itu agak berantakan. Mata kelabunya terlihat lebih gelap beberapa tingkat kalau malam begini.
"Enggak papa, kok. Aku biasa pulang larut kalau lagi kerja kelompok," Haura berceletuk sambil mengupayakan tersenyum. "Dan, aku tunggu jawaban kalian mengenai tawaranku tadi. Tenang aja, enggak usah buru-buru. Aku siap kapan aja kalian mau."
"Ya. Nanti aku beritahu kamu."
Selepas melayangkan ucapan salam, Jauza menyalakan mesin dan membawa mobilnya menjauh dari rumah gadis itu. Sementara Haura menyelinap dari celah pagar dan masuk pelan-pelan lewat pintu depan yang belum terkunci. Dia menaiki tangga di dekat dapur dan hendak berbelok ke kamarnya ketika Mahindra tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Keduanya sama-sama mematung. Haura merasakan ketegangan menjalari tengkuk, cemas kalau-kalau Mahindra mengetahui tampangnya yang mencoba membuat alasan.
"Haura," Mahindra mengernyit, menatap Haura dari puncak kepala sampai bawah. "Ini hampir jam sebelas malam, loh."