Bab 8 - Pierre, Si Merpati Lancang

368 85 57
                                    

-oOo-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-oOo-

MALAM hari, pukul 22.14. Seekor merpati putih bertengger di pagar beton gedung tempat tinggal Jauza. Burung itu membuka satu sisi sayapnya, menyusupkan kepalanya yang mungil ke balik sayap dan mematukkan paruhnya di ketiak. Sang merpati praktis mendongak saat merasakan desau angin tiba-tiba datang, menyapu debu-debu di sekelilingnya seperti tiupan sihir.

Kedatangan orang itu sehalus belaian angin, selembut bisikan daun yang mendarat tanpa suara di permukaan air. Mula-mula, sang merpati melihat tungkai kanan seseorang turun dari langit, menapak pagar beton dengan tekanan senyap tanpa bobot. Tubuh itu membungkuk rendah. Kaki panjangnya lantas terjulur melewati pagar, berayun-ayun anggun dari ketinggian tiga lantai.

"Il y a longtemps qu'on ne s'est pas vu." (Bahasa Prancis: Sudah lama tidak melihatmu.) Suara Jauza, jernih dan sejuk, seperti desau angin malam. Pemuda itu duduk di samping sang merpati dengan hanya mengenakan celana jins. Tubuh bagian atasnya telanjang―itu tidak masalah. Dia toh tidak akan menggigil kedinginan di negara tropis ini.

Sementara itu, sang merpati―Pierre―menatap Jauza tanpa berkata apa-apa. Pierre memang tidak bisa bicara, tetapi jenis manusia tertentu dapat mengerti pikirannya dengan cara-cara ajaib yang tak bisa dijelaskan. Dia membalas sambutan Jauza dengan bahasa kalbunya yang penuh kelancangan;

Ya, aku berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Tidak begitu asyik. Dua-tiga kali hampir kena tembak pemburu, tetapi aku bertahan. Dunia memang sarangnya kejahatan, dan aku meninggalkan anak-anak serta istriku demi mencari biji-bijian terbaik untuk dilumat dalam perutku yang mungil ini.

"Tidak sebaik yang kupikir," Jauza melanjutkan percakapannya dalam bahasa Prancis, lalu tersenyum menyalurkan prihatin. Pemuda itu lantas mendongak menatap langit malam Bandung yang berkelindan oleh bintang, berpikir-pikir mengapa kedamaian ini membuat si merpati gelisah. Tentu ada banyak alasan yang harus dia mengerti.

"Pierre, Bandung tidak buruk-buruk amat. Lebih mudah untuk berbaur dan menyatu di tengah masyarakatnya. Aku bertemu banyak orang baik selama beberapa bulan ini," Jauza berkomentar hati-hati.

Oh, ucapanmu seperti anak yang baru lahir kemarin sore. Orang baik tak bisa dipercaya, Jauza. Kau sebaiknya hati-hati dengan mereka. Waktu itu aku pernah menuruti insting bodohku untuk melunakkan perasaan benciku kepada mereka, tetapi aku dikhianati. Mereka mau menangkapku untuk dijadikan sate. Dasar manusia biadab!

"Menjadi burung membuatmu belajar banyak hal, iya kan?" Jauza menyungging senyum.

Lebih banyak hal jeleknya. Menghindari manusia adalah aturan pertama yang kupelajari. Dan seharusnya kau juga sama sepertiku. Bukankah kau membenci mereka juga?

"Oh, ayolah. Tidak semuanya seperti itu." Jauza menyugar rambutnya yang tersapu ke sana kemari oleh angin, takluk oleh kesejukannya. "Orang Indonesia banyak yang ramah. Mereka suka mengobrol dan memperhatikan kami."

𝐀𝐍𝐆𝐄𝐋'𝐒 𝐂𝐈𝐑𝐂𝐔𝐒 (𝐒𝐔𝐃𝐀𝐇 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang