Bab 6 - Bantuan Tidak Terduga

487 94 16
                                        

-oOo-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-oOo-

KAWASAN sekitar alun-alun, pukul tiga sore. Matahari tidak begitu menyengat kulit, tetapi sinarnya yang keemasan sangat menyilaukan mata. Jauza terus-terusan menghalau lengannya ke atas dahi selagi tangan satunya sibuk membagikan selebaran. Masih ada sekitar satu dus selebaran yang tersisa, dan dia sudah kerepotan karena cahaya senja yang membanjiri ini membuatnya tidak bisa melihat.

Sejak pukul dua siang tadi, Jauza sudah mondar-mandir di beberapa kawasan. Terlepas dari sinar matahari yang memblokir radius pandangnya, nasibnya cukup baik. Ada banyak orang yang berseliweran dan menerima selebarannya, tetapi sayang, sebagian besar dari mereka hanya peduli untuk bertanya satu dua hal tentang Jauza, bukan tentang pertunjukan sirkus.

Seperti saat ini.

"Sweet guy, listen, gue enggak pernah salah dalam menilai orang," kata seorang pria yang sejak tadi mengintai Jauza seperti burung elang. Penampilan pria ini cukup mencurigakan. Di samping kacamata kotak yang menunjukkan kecakapannya dalam observasi, dia mengenakan kemeja berbalut blazer mahal yang memunculkan kesan ningrat yang kasual tapi profesional. Barangkali orang dari agensi dunia hiburan, atau sesuatu semacamnya―recruiter dari brand fashion atau kosmetik. Jauza sudah menghadapi pengalaman seperti ini bertahun-tahun, dan dia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "You have great potential to hit the entertainment world. Memangnya lo enggak tertarik bekerja di sana?" desak pria itu mendesak dengan tampang menyebalkan.

Jauza, yang sejak tadi mencuri langkah untuk menyebarkan selebaran sirkus, berkata dengan nada dijaga kalem, "Saya lebih nyaman bekerja seperti ini."

"Seperti ini?" Pria itu menatap setumpuk selebaran di tangan Jauza, membacanya sekilas. "You mean, jadi sales yang nyebarin selebaran konser musik?"

Kesabaran Jauza sudah habis. Pemuda itu berputar menghadap si pria berkacamata dan menunduk untuk memandang manik mata hitamnya yang kecil dan berair. "Ini bukan konser musik, Pak. Ini pertunjukan sirkus, dan saya pemainnya."

"Kamu pemain sirkus?"

Jauza memilih melengos dari pertanyaan dan melanjutkan membagikan selebaran. Namun pria itu lebih gigih dari dugaan. Dia menyela langkah di hadapan Jauza dan mengoceh lagi, "Sweet guy, Lemme tell you something. Di Indonesia, pertunjukan seperti ini hanya laku di musim-musim tertentu―seperti saat long holiday, which only happens once a year. Terkadang satu orang yang menontonnya akan merasa cukup and they're gonna back later after a couple of months or even years. That's a loss!"

Kata-kata itu sudah sering Jauza dengar dari orang-orang yang ingin merenggut mimpinya, lalu mengatur hidupnya sesuai apa yang mereka mau. Dia bisa melawan―mungkin mendaratkan satu atau dua tinju supaya pria ini diam, akan tetapi Jauza tahu itu bukan reaksi yang benar. Menanggapi segala sesuatu dengan kekerasan tidak akan melahirkan solusi yang sempurna. Itu hanya akan menjalin lingkaran setan baru yang tak berujung, dan Jauza tak mau terlibat lebih lama lagi dengan orang ini.

𝐀𝐍𝐆𝐄𝐋'𝐒 𝐂𝐈𝐑𝐂𝐔𝐒 (𝐒𝐔𝐃𝐀𝐇 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang