Credit cover by noisa_art (Instagram)
⭐ Follow sebelum membaca ⭐
Tidak mudah menjadi Haura. Di rumahnya, Haura harus menghadapi ibunya yang temperamental dan depresif, sementara di sekolah dia selalu menjadi kutu pendiam yang dianggap membosankan.
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-oOo-
"KAMU beneran harus banget pulang sekarang?"
"Iya, Za. Aku lagi buru-buru."
"Kalau gitu tunggu bentar, aku antar."
"Enggak, Za. Kamu lanjut latihan aja. Tolong titip salam ke yang lain, ya.Bye!"
Bersama penggalan pamit itu, Haura pergi begitu saja dari amphitheater PCT, meninggalkan Tim Sagara, dan juga melupakan percakapan mistisnya dengan boneka Umeko. Panggilan dari papanya beberapa menit lalu sukses membuat perasaannya campur aduk―marah, khawatir, dan ... rindu. Haura tidak tahu mengapa tungkainya menyeretnya pergi setelah dia mendengar kalimat ganjil ayahnya. Apakah akal sehatnya digerakkan naluri seorang putri yang cemas, atau sesuatu yang lain?
"Ini mungkin terakhir kalinya Papa bisa ketemu kamu, Nak."
Terakhir kalinya ketemu? Jangan bodoh. Memang papanya mau ke mana? Itu pasti hanya alasan yang dibuat-buat supaya Haura mau datang mengunjunginya, bukan?
Diiringi beban keresahan yang tidak jelas, dan berbagai jeritan pertanyaan yang tak terjawab, Haura akhirnya sampai ke tempat yang dijanjikan ayahnya lewat pesan teks―sebuah kafe kecil bernama Solandis yang dibangun tak jauh dari kompleks tempat tinggalnya. Lima tahun lalu, Haura pernah datang di pembukaan awal kafe ini, bersama keluarganya yang masih lengkap. Peristiwa itu hanya berselang satu minggu sebelum akhirnya sang mama menggugat cerai papanya.
Haura mendorong pintu ke dalam, seketika disambut hawa sejuk ruangan. Di sore hari begini, ada cukup banyak pengunjung yang menempati bangku-bangku bundar di dalam kafe. Leher Haura terjulur agak tinggi untuk memeriksa penjuru ruangan. Hanya dalam beberapa detik, dia menemukan sosok pria duduk agak membungkuk di bangku paling ujung, berdempet dengan jendela di sisi kanannya.
Papanya.
Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk berpisah. Haura merasakan jantungnya berdebar semakin cepat tatkala langkahnya semakin terpangkas maju. Ketika dia sudah berada di jangkauan papanya, mata mereka bertemu.
Untuk sejenak, papanya termenung. Ada sorot kerinduan yang jelas terpatri pada mata cekungnya yang hitam. Pria itu berdiri sambil memandangi Haura dengan gelagat seperti tidak percaya. Bibirnya hanya mampu melafalkan nama putrinya secara lirih, seperti sedang berdoa.
Sementara itu, kemarahan di benak Haura anehnya kalah dengan kerinduan yang sejak tadi mengintip malu-malu dari dasar jiwanya. Protes dan sumpah serapah yang di perjalanan tadi telah Haura siapkan, tahu-tahu saja melebur dan lenyap, digantikan suara hatinya yang remuk dibebani kesedihan yang telah menumpuk bertahun-tahun lamanya. Tidak ada sapaan, tidak ada senyuman. Wajah Haura tegang karena dia menahan diri untuk tak menangis, sementara kakinya terpaku di titik tempatnya berdiri.