The Myth of a Veela

270 17 50
                                    

Berjalan menyusuri koridor rumah nenek buyutnya lelaki berlesung pipi itu mengedarkan pandangannya memeriksa setiap ruangan di koridor. Tangannya dengan lincah memutar knop pintu, menyisir sejenak dalam kegelapan yang hanya diisi berkas cahaya dari jendela kaca besar yang dimiliki setiap ruangan. Tidak setiap hari dia mengunjungi rumah warisan keluarganya ini selain terletak di pinggiran kota, kesan kosong, dingin, dan horor selalu membuatnya tidak betah berlama- lama. Dia lebih memilih apartemennya yang hangat di tengah kota. Pria ini hanya berkunjung bila sahabatnya meminta dan dia tak akan mampu menolak. Setiap ditanya kenapa sahabatnya itu sangat menyukai suasana rumah tengah hutan yang siapapun tak akan mau meliriknya. Dengan mengangkat bahu wanita itu hanya tersenyum bersama jawaban klise yang selalu sama. Dia suka di rumah ini, ada sesuatu yang tak bisa dia temui di kota. Suasananya, alam, udara, dan... tentu saja perpustakaannya. Perpustakaan pribadi yang berumur sangat tua, mengusung tema victorian yang berfokus pada penggunaan unsur kayu, mulai dari atap, lantai, dinding, rak buku bahkan kursi dan meja, semua didekorasi dari ornamen kayu vinyl dan ukiran. Telah menyimpan buku- buku dari abad ke -19 peninggalan leluhur yang hampir tak pernah terjamah, tua, rapuh dan bahasanya yang tak mudah dipahami, justru itulah yang disukai sahabatnya yang sedikit eksentrik. Dia kutu buku tentu saja, tapi kegilaannya akan mitos dan tahayul membuat pria ini menggelengkan kepala, tak pernah sepemahaman.

Lantai kayu berdecit di bawah sepatunya yang dipoles, mengembalikan pria ini dari transnya. Dia terlalu yakin siapa yang tengah dicarinya kini masih terbenam dalam tumpukan- tumpukan buku lama di perpustakaan.

Engsel dua pintu kembar berderit terbuka, pria berkemeja putih ini masuk dan mendapati buku- buku berserakan di atas meja kerja. Beberapa bahkan tumpang tindih dengan kertas- kertas penuh coretan acak, laptopnya menyala, kopi tak lagi mengepulkan asap, dingin tanpa tersentuh. Tetapi sahabatnya tak terlihat di manapun. Menautkan alisnya masih menimbang, dia memutuskan terus mencari ke bilik di sudut yang berbau apek.

Helaan nafasnya jatuh menemukan Bae Suzy benar- benar terkubur dalam tumpukan buku- buku tua. Rambut panjangnya digelung ke atas secara acak menggunakan pensil, blus putihnya kotor di beberapa bagian sebab dia gunakan untuk menghapus debu tapi telunjuknya masih sangat lincah menyisir satu- persatu punggung buku di jajaran rak. Mencari judul paling aneh yang pria ini pernah baca.

" Masih tentang Veela? Kenapa kau tak menyerah saja Suzy-ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


" Masih tentang Veela? Kenapa kau tak menyerah saja Suzy-ya. Aku sudah bilang tak ada apapun di sini, mau kau cari seribu kalipun_"

Suzy berbalik bersama muka cemberut yang sama, " Jangan bahas lagi Seung Gi sshi, kau hanya kurang sabar mencari... cakkaman, bisakah kau tak bersuara? Itu membuyarkan konsentrasi, tahu !"

Bae Suzy mengunyah pipi bagian dalamnya. Dia hampir menemukan petunjuk, bukannya tak ada hanya sangat jarang dia mendengar ataupun bahkan membaca tentang keturunan Veela laki- laki.

Kenapa bukan zombi, vampir, goblin, atau gumiho? Semua itu sudah umum dibuat kisah berpuluh tahun lamanya. Hampir sebagian film horor dihiasi oleh cerita- cerita tersebut. Mulai dari pembantaian, horor berdarah, tragis hingga kisah romantis. Bae Suzy ingin sesuatu yang berbeda, sedikit tak masuk akal tapi bisa diterima nalar.

Fanfict of NamZyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang