Satu

51 21 8
                                        

Ruangan itu sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Semua lampu sudah dimatikan, kecuali yang terdapat di sudut ruangan dekat jendela. Lampu masih menyala karena masih ada seseorang disana. Gadis itu menempati meja di dekat jendela itu sebenarnya tidak benar-benar membutuhkan penerangan karena ia tidak sedang membaca buku satupun.

Joanna Melisa duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Keningnya berkerut dan matanya menyipit menatap lekat-lekat ponsel yang tergeletak di atas meja perpustakaan sekaligus cafe itu. Ia menggigit bibir dan tidak habis pikir kenapa ponsel imut dengan berbagai macam hiasan gantung itu tidak berdering, tidak berkelap-kelip, tidak bergetar, tidak melakukan apapun!

Ia memutar kursi menghadap jendela besar dan memandang ke arah sampingnya, memerhatikan mobil-mobil yang berseliweran di jalan raya kota Jakarta dengan tatapan menerawang. Langit sudah gelap. Ia melirik jam tangan dan mendesah. Jam tujuh lewat. Dengan sekali sentakan ia memutar kembali kursinya menghadap meja.''kemana aja sih lo?'' desis Joanna mengetuk-ngetuk ponselnya dengan kukunya yang dicat transparan.

''Lo bicara sama hp? Gila ya lo?''

Joanna mengangkat wajah dan menoleh. Itu Bianca Atmaja yang baru keluar dari arah ruang dapur, ia menjadi pekerja part time di cafe kakak laki lakinya. Bianca manis yang berambut hitam sebahu, bermata coklat kehitaman dan berhidung mancung. Perawakannya kurus, kecil dan dengan baby facenya itu menarik para kaum adam.

''Udah selesai ngurus karyawan yang gak becus itu?'' tanya Joanna ringan sambil mencondongkan tubuh ke depan, menumpukan kedua siku di meja dan bertopang dagu.

Bianca hanya mengangguk dan berjalan ke kursi yang berhadapan dengan Joanna.''Bukannya lo udah disini dari...'' ia melirik jam dinding,''tiga jam yang lalu?'' tanya Bianca dengan alis terangkat. Bahkan Joanna sudah menghabiskan satu buku, dua gelas susu hangat, dan dua porsi pancake dengan selai maple.

Joanna mendesah. ''Emang,'' jawabnya lemas. Ia menunduk dan menyandarkan kening di meja, lalu mendesah lebih keras lagi.

''Heh! Ngapain lo lesu begitu?'' tanya Bianca sambil mengetuk-ngetuk pelan kepala Joanna dengan bolpoin miliknya. ''Biasanya lo suka hari Sabtu.''

Joanna mengangkat kepala dan tersenyum muram. Hari Sabtu memang hari yang paling disukainya karena hari Sabtu adalah awal akhir pekan yang ditunggu-tunggu. Tapi hari ini jadi pengecualian. Ia sedang tidak gembira atau bersemangat.

''Ooh..gue tau,'' kata Bianca tiba-tiba dan tersenyum. ''Belum nelpon, iyakan.''

Joanna menggigit bibir dan mengangguk lemah. Ia kembali melirik ponselnya. Lalu seakan sudah membulatkan tekad, ia mendengus dan meraih ponsel itu. ''Lupain aja deh,'' katanya tegas, lebih kepada dirinya sendiri. Dengan gerakan acuh tak acuh ia melemparkan ponselnya ke dalam tas tangan dan berdiri dari kursi.

''Balik yuk! Duduk ngasihanin diri sendiri gak ada gunanya.'' katanya.

Bianca menatap temannya dengan bingung. ''Yang ngasihanin diri sendiri tu siapa?''

🌧

''JO! JOANNA!''

Joanna mendengar suara yang ia kenal, tapi pura pura tidak mendengar. Ia melangkah cepat menuju gang di mana rumahnya terletak, berusaha keras mengabaikan bunyi langkah kaki yang menyusulnya. Angin berhembus menerpa wajahnya dan Joanna merapatkan jaket yang ia pakai.

''Heh! Jo! Tunggu dulu dong.''

Ketika ia hampir sampai di sebuah rumah bertingkat dua miliknya, Joanna mengeluarkan kunci rumah. Terdengar bunyi pengunci gerbang dan ia cepat cepat masuk. Ia baru akan menutup gerbang ketika gerakannya tertahan.

Jakarta In The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang