Akhirnya Haruto berhadapan dengannya.
Reynald Darren Avranega yang saat ini duduk di hadapannya adalah seorang pria berusia sekitar lima puluhan yang tampan, tinggi, dan berambut cokelat. Matanya bersinar cerdas. Penampilannya rapi dan terawat.
''Jadi Sakura Rui sudah meninggal dunia?" gumam pria yang lebih tua itu sambil menyesap kopinya dengan perlahan. Suara dan sinar matanya mengandung penyesalan.
Haruto mengangguk tanpa menyahut. Mereka berdua berada di restoran mewah di sebuah hotel berbintang. Mereka sepakat bertemu di sana pada jam makan siang. Ketika Haruto tiba di sana, Reynald Darren Avranega sudah datang lebih dulu dan menunggunya. Pria itu langsung bertanya mengenai ibunya dan Tatsuya mengatakan ibunya sudah meninggal dunia.
"Tepatnya kapan?" tanya Reynald tanpa menatap Haruto. Kelihatannya pria itu agak terguncang dengan kabar itu.
Haruto menyahut datar. "Setahun yang lalu." Pria yang duduk di hadapannya itu mengangguk muram, dan bertanya lagi, "Dia tidak menderita, bukan?"
Haruto terdiam beberapa detik. "Tidak.''
Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara, lalu Reynald memecah keheningan. ''Aku turut menyesal,'' katanya tulus. "Apakah ada yang bisa kulakukan untuk membantu?''
Haruto mengeluarkan sepucuk surat dari saku dalam jasnya dan meletakkannya di meja, di depan pria itu. la segera menarik kembali tangannya ketika menyadari tangannya sedikir gemetar.
Reynald menatap surat yang disodorkan, lalu beralih menatap Haruto ''Apa ini?" tanyanya bingung.
''Itu surat yang ditulis ibuku sebelum Beliau meninggal dunia," jawab Haruto. Ia mengangkat wajah dan memandang Reynald yang sudah memegang surat itu.
"Tapi surat ini ditujukan untukmu," kata pria itu begitu melihat nama yang tertulis di amplop.
Haruto mengangguk. "Memang benar. Tapi saya ingin Anda membacanya, Tuan. Ibu juga ingin Anda membacanya, karena Beliau menulisnya dalam bahasa Indonesia."
Reynald menurut dan mulai membaca. Kemudian raut wajahnya berubah dan keningnya berkerut. Ia menatap Haruto dengan pandangan bertanya.
Haruto merasa ada yang menyumbat tenggorokannya. Ia semakin gugup. Telapak tangannya terasa lembap. Inilah yang selalu dikhawatirkannya. Saat ini. Ketika rahasia mulai terbongkar. Ia bahkan sudah mempersiapkan diri dengan berbagai reaksi yang akan diterimanya.
"Ibu tidak pernah berkata apa pun ketika masih hidup. Seperti yang Anda baca di surat itu, Ibu berharap saya bisa bertemu dengan Anda,'' kata-katanya semakin berat, ''karena ternyata Anda adalah ayah kandung saya."
Reynald menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan tetap menatap surat di tangannya. Wajahnya pucat.
Selama beberapa saat, tidak ada yang bersuara, sibuk dengan pikiran masing-masing. Haruto bisa mendengar debar jantungnya sendiri. Ia bertanya-tanya apa yang dipikirkan pria yang duduk di hadapannya itu. Pria itu menatap lekat-lekat surat yang dipegangnya. Sebelah tangannya bertopang pada lengan kursi dan mengusap-usap pelipisnya.
Haruto bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana perasaan Reynald? Apakah ia marah? Sedih? Bingung? Kaget?
Haruto menarik napas. "Dalam suratnya Ibu berkata kalau kalian sempat menjalin hubungan. Saya tidak tahu kenapa Anda meninggalkan Ibu ketika Ibu sedang hamil...."
"Aku tidak tahu... ibumu hamil," sela Reynald. Ia menatap Haruto lurus-lurus. Sinar matanya hangat dan bersungguh-sungguh.
Haruto menatap mata itu dan tidak menemukan kemarahan di sana. Tidak ada. Ia mendapati dirinya memercayai pria itu. Pria yang lebih tua itu melanjutkan, "Aku sama sekali tidak tahu. Kalau aku tahu... aku..."
![](https://img.wattpad.com/cover/326490844-288-k751864.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta In The Rain
Fanfiction[FICTION] Joanna Melisa sangat menyukai hujan. Ia mengira bahwa semua yang ia miliki sudah menjadi segalanya dalam hidup...sampai ia bertemu dengan Watanabe Haruto yang susah di tebak dan selalu membuatnya penasaran. Watanabe Haruto tidak suka denga...