Empat

21 15 1
                                    

Gadis itu kelihatan bosan.

Haruto melirik Joanna. Mereka sudah berada di museum itu selama lebih dari dua jam dan walaupun jelas-jelas tidak tertarik pada seni, gadis itu cukup sabar menemaninya. Tidak mengeluh sedikit pun. Haruto memutuskan tidak memperpanjang penderitaan Joanna dan mengajaknya makan siang di Kedai Seni Djakarte. Kelihatannya makanan yang disajikan sederhana saja, tapi suasananya menyenangkan, itu yang Haruto lihat di artikel.

"Bosan?" tanya Haruto sementara mereka menunggu pesanan diantarkan.

Joanna tersenyum dan melipat kedua lengannya di meja. "Mm. sedikit," jawabnya jujur, lalu mengangkat bahu. "Tapi gue udah terbiasa. Jeandra sering ngajak gue kalau ada pameran seni, sedangkan gue buta soal seni."

Haruto tertawa kecil. "Kalau begitu, setelah makan siang, kita tempat lain yang lebih menarik. Bagaimana? Ada saran?"

"Gue paling suka di tempat yang sepi, karena gue bakal ngerasa... mm, gimana bilangnya, ya? Rasanya begitu jauh dari peradaban. Lo paham maksud gue? Rasanya seperti ninggalin beban di tanah dan kita melayang bebas gue sama Jeandra suka ke sana kalau lagi stres mikirin kuliah. Gue jamin setengah jam di sana perasaan lo langsung jauh lebih baik.''

"Kita mau ke sana malam nanti karena pemandangan sunset di Jakarta yang juga indah." Joanna terdiam sejenak untuk menanik napas, lalu bertanya, "Lo bener-bener belum pernah lihat-lihat kota Jakarta?" Matanya yang besar menatap Haruto dengan pandangan bertanya. "Begitulah." Tatsuya berusaha menahan senyum. Gadis itu sanggup bercerita terus kalau memang diperlukan. Gadis yang menarik.

"Aneh... udah berapa kali lo datang ke Jakarta?" tanya Joanna. Haruto mendongak dan berpikir-pikir. "Wah, aku tidak ingat."

Joanna mengangkat bahu. "Aneh sekali kalau datang ke Jakarta dan tidak berkeliling. Lo selalu aja datang buat urusan bisnis bapak lo?"

Haruto ragu sejenak. "Tidak juga," jawabnya pelan.

''Terus lo datang untuk buat? Gak mungkin buat berlibur karena lo bilang lo bahkan gak keliling kota.''

Haruto menunduk dan bergumam, "Mencari seseorang,''

"Apa?" tanya Joanna dan mencondongkan tubuh ke depan karena tidak mendengar dengan jelas.

Haruto mengangkat wajah dan mengulangi, "Aku ke sini untuk mencari seseorang.

"Siapa?"

Pertanyaan yang wajar, tapi Tatsuya tidak ingin menjawab. Ia masih belum yakin mau menceritakannya pada orang lain. Untung saja saat itu makanan pesanan mereka datang sehingga Haruto tidak perlu langsung menjawab.

"Lo cari siapa?" tanya Joanna sekali lagi setelah pelayan pergi.

Gadis itu benar-benar tidak mau melepaskannya. Jawaban apa yang bisa diberikan?

"Ceritanya panjang." Haruto mengelak, tidak langsung men jawab pertanyaan Joanna tadi. "Lain kali saja kuceritakan."

Gadis itu tidak mendesaknya lagi. Tara memang suka bercelotek panjang lebar, tetapi ia tidak suka memaksa, meskipun sebenarnya dis penasaran.

Setelah selesai makan. Joanna membawanya berkelling kota, dengan penuh semangat menunjukkan tempat-tempat menarik, seperti pemandu wisata berpengalaman. Haruto menyadari Joanna gadis yang ekspresif. Ia tidak hanya bercerita dengan kata-katanya, tapi juga dengan mata dan gerakan tubuhnya.

Mungkin karena cuaca hari ini cerah, mungkin karena angin juga tidak bertiup terlalu kencang, atau mungkin juga karena ia mendapat teman seperjalanan yang menyenangkan. Haruto merasa santal hari itu. Gembira dan santai. Sudah lama sekali ia tidak mengalami perasaan seperti ini. Kapan terakhir kalinya ia merasa gembira? Pasti sebelum ibunya meninggal dunia. Dan sudah pasti sebelum ia tahu rahasia itu.

la merasa lengannya disiku pelan. Ia menoleh dan melihat Joanna sedang menatapnya dengan alis berkerut.

"Apa yang lagi lo pikirin?" tanya gadis itu sambil tersenyum. Kerutan di dahinya menghilang.
"Tidak ada,'' Tatsuya berbohong.

Haruto mendegus pelan, masih tetap tersenyum. "Bohong,'' gumamnya dengan nada riang. "Kau tahu, Sebastien juga sering begitu."

"Sering bagaimana?"

Joanna mendongak. Senyumnya masih menghiasi bibirnya. Sepertinya memikirkan Jeandra saja ia bisa tersenyum. "Gue selalu tau kalau Jeandra lagi banyak pikiran," katanya.

Haruto mendengar nada bangga dalam suara gadis itu. "Alisnya bakal berkerut dan dia lebih banyak diam. Kalau ditanya apa yang lagi dia pikirin, dia cuman jawab gapapa dengan nada berat." Joanna menoleh memandangnya dan senyumnya melebar. "Sama seperti yang lo lakuin tadi."

Haruto mengangkat alisnya dan ikut tersenyum. Gadis itu punya senyum yang menular.

"Hari yang indah" katanya pada dirinya sendiri, lalu menyiku lengan Haruto pelan.

"Liat, bunga teratai itu pada mekar. Bagus bangetkan?" Haruto memandang gadis itu sambil tersenyum samar. "Jeandra sama gue, maksudku suka banget musim hujan. Karena bunga teratai mekar dimana mana, gue juga suka dengerin air hujan yang turun, kayak enak aja di dengerin.'' kata Joanna.

Haruto menimbang-nimbang sesaat, lalu berkata, "Ada yang ingin kutanyakan."

Gadis yang duduk di sampingnya itu menoleh. "Apa?"

Haruto ragu sejenak, lalu memutuskan untuk bertanya. "Apakah kau dan Jeandra...?''

Joanna mengangkat alisnya, menunggunya melanjutkan. "Kau tahu maksudku," Haruto meneruskan dengan enggan.

"Apakah kau dan Jeandra... pacaran?"

Joandra mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu tertawa terbahak- bahak. "Oh, astaga! Tidak," jawabnya ketika tawanya mereda ''Gak, kami gak pacaran. Kenapa nanya gitu?"

Joanna mengangkat bahu. "Kau selalu menyebut-nyebut namanya. Jeandra juga sering membicarakan dirimu."

Joanna menatapnya lurus lurus. Matanya berbinar binar ''Jeandra sering bicarin gue?" tanyanya perlahan.

Haruto membalas tatapannya. Baiklah, seharusnya ia tadi ridak mengatakan hal itu. Sekarang ia merasa tidak ingin menjawab, tapi... "Ya."

Joanna tersenyum senang dan menunduk memandangi kakinya Saat itu juga Haruto tahu. Gadis itu menyukai Jeandra.

Tiba-tiba ponsel gadis itu berbunyi.

''Hallo?" kata Joanna setelah menempelkan ponsel ke telinga. Haruto bisa melihat perubahan ekspresinya. Matanya berkilat- kilat dan senyumnya melebar.

Telepon dari Jeandra, pikir Haruto tanpa bisa dicegah.

''Jeandra!" seru gadis itu gembira.

Haruto memalingkan wajah. Benar, bukan?

''Lo udah sampai?... Belum?... Tentu saja, gue bisa jemput lo...lo harus bawain gue jajan?... Wah, lo emang baik banget dech!... Oke, bye!"

Joanna menutup ponselnya. Ia masih tersenyum sendiri. "Jeandra selesai hari ini?" tanya Haruto berbasa-basi.

Joanna mengangguk. "Gue mau pergi jemput dia," katanya. lalu ia teringat sesuatu. "Oh ya, maaf. Gue gak bisa ngajak lo ke tempat yang gue suka malam ini.''

"Tidak apa-apa. Kita bisa pergi lain kali."

Joanna bangkit dan merapikan syalnya. "Mau gue anter balim?"

Haruto menggeleng. "Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku ingin ke tempat lain dulu. Kau pergi saja.

''Baiklah," kata gadis itu sambil tersenyum. "Gue pergi dulu. Makasih buat traktiran makan siang tadi. Lain kali giliran gue deh."

''Terima kasih karena sudah menemaniku hari ini.''

Joanna melambai tangan. ''Bye.''

''Sampai ketemu lagi, Jo.''

Haruto memandangi Joanna yang berlari-lari kecil menjauhinya dan menarik napas panjang.

Jakarta In The Rain|Bab Empat
Ujian sabar Joanna

Jakarta In The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang