Luka Pagi

429 20 0
                                    

•••

" Melodi yang cantik datang untuk mengisi perut yang sangat lapar,"Melodi berseru sambil berjalan ke arah dapur, dari jauh dia menatap ruangan itu hanya terdapat sang Mamah. Sepi. Karena itulah, lengkung senyum terpasang indah di wajahnya yang biasa dihias sendu.

Jika saja disana ada orang lain Melodi tidak mungkin berseru sebahagia ini. Pagi ini, ada sebuah hal yang ingin ia sampaikan pada sang Mamah. Momen ini dirasa pas, tiada orang selain mereka berdua.

"Melodi!" Tegur Sang Mamah kepada dirinya, Melodi hanya tersenyum sambil menelungkupkan kedua tangannya di depan dada, tanda meminta maaf.

"Hehe, maaf mah. Mulut melodi pagi-pagi emang lagi aktif-aktifnya. Jadi susah mingkemnya." Ujar Melodi sambil cengengesan tidak jelas.

"Yaudah ini sarapannya. Dihabisin" ujar Sang Mamah lantas duduk di salah satu kursi di ruang makan. Melodi sangat bahagia, pagi ini, dia seperti mendapatkan perhatian khusus. Disedikan sarapan oleh wanita tercinta. Dadanya berdebar tanpa sadar, menikmati aliran bahagia yang memenuhi relung hatinya.

"Siap,Mah." Melodi menikmati sarapan paginya dengan penuh khidmat. Senyum manisnya terus merekah di bibir mungilnya, menandakan hatinya sedang dalam keadaan sangat baik.

"Miya sama papah kemana? Kok tumben pada gak sarapan. Biasanya mereka berdua paling pertama sampe meja makan." Melodi bertanya, seharusnya pagi seperti ini ruang makan sudah ramai dengan perbincangan sang Adik dan Papah. Disini akan penuh dengan topik hangat, tapi... tidak dengan dirinya. Dirinya akan lebih banyak diam, bukan karena tidak ingin ikut dalam perbincangan. Hanya saja, memang tidak ada satupun yang menanyakan hal jenis apapun kepadanya.

"Adek kamu tadi berangkat pagi-pagi, katanya ada kegiatan OSIS, jadinya dianterin papah. Tadi gak sempet sarapan, tapi udah mamah bekelin," ujar sang Mamah yang membuat Melodi mengangguk-nganggukan kepalanya.

Astaga, bagaimana rasanya diberikan bekal sekolah seperti itu, Melodi tidak pernah merasakannya. Melodi tersenyum lirih sambil menikmati sarapan paginya. Dia, jika ia ingin membawa bekal hanya mbok Ani lah yang memberikan. Tidak.... Melodi tidak sedih, hanya bertanya-tanya bagaimana sebenarnya menjadi anak yang mendapatkan kasih sayang penuh.

"Mamah, hari Rabu nanti di sekolah Melodi ada kegiatan Apresiasi Sastra, puisi karya Melodi menang. Melodi dapet juara harapan 3, walaupun masih harapan tapi udah keren banget kan, Mah. Jarang-jarang banget Melodi menang. Mamah bisa dateng kan?"Melodi akhirnya mengungkapkan apa yang ingin dibicarakan, binar matanya menunjukan harapan yang besar, berharap Sang Mamah bisa mengabulkan keinginannya yang satu ini.

"Ohh, Liat nanti deh. Kamu tahu gak, Kemarin adikmu itu menang juga loh—" Melodi terdiam sejenak, menghela napas panjang secara dalam. Binar harapan sebelumnya seolah lenyap, digantikan dengan lengkungan senyum yang terasa begitu berbeda. Tidak, itu bukanlah senyum bahagia. Tapi, sebuah kekecewaan yang mendalam atas hal yang tidak bisa diungkapkan.

Melodi mencoba menenangkan segala gemuruh dalam relung hatinya, dia menguatkan dirinya bahwa semua ini adalah hal yang biasa. Dia sudah terbiasa dengan banyak kekecewaan, bukankah seharusnya ia kebal dengan ini semua?

Melodi merubah raut wajahnya, berpura-pura bahagia dengan segala hal yang menyangkut adiknya, " Menang apa mah?"

"Juara 1 lomba cerdas cermat. Yang minggu kemarin mamah gak bisa hadir waktu rapat study tour kamu." Lihat itu, binar Sang Mamah yang begitu bangga atas segala prestasi yang adiknya dapatkan. Melodi sadar, memang dia tidak bisa memberikan apapun yang membuat kedua orang tuanya bahagia.

"Yang waktu mamah janji jemput Melodi ternyata gak dateng, Mah?"

"Iya yang itu. Tau gak si kamu, adikmu berhasil mendominasi babaknya. Mamah sama papah ngelianya sampe ketar Ketir sendiri,"

MELODI Yang MemilukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang