Janji Terus Bahagia

76 13 0
                                    

•••

Dua hari setelah musibah kecelakaan yang dialami oleh Miya. Kini semuanya berjalan seperti biasanya. Sarapan di pagi hari dengan Melodi yang hanya diam sambil menikmati sepotong roti panggang. Tak ada yang berubah dari suasana meja makan pagi ini, hanya kini mamah dan papah terus memberikan wejangan kepada Miya agar berhati-hati. Tidak hanya obrolan itu, tapi meluas hingga mereka bertiga saling mengobrol tentang banyak hal. Melodi hanya menyimak dengan tenang sambil menampilkan lengkung indah di sudut bibirnya.

Tak berselang lama, sang papah pamit terlebih dahulu disusul dengan Miya. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Miya berangkat bersama dengan sang Papah lebih pagi dibandingkan Melodi. Tak lain karena Miya salah satu anggota kepengurusan OSIS di sekolahnya, yang mengharuskannya untuk datang lebih pagi dibanding siswa lainnya.

Setelahnya yang terjadi adalah keheningan. Hanya ada Melodi yang tersisa disana. Sang mamah mengantar kepergian Miya dan sang suami tercinta. Melodi mengunyah roti dengan pelan, sambil menikmati sebuah rasa sesak yang entah kapan bersinggah di relung hatinya. Netranya menangkap foto yang terpasang di sudut ruang. Sebuah keluarga dengan dua orang anak perempuan yang tersenyum. Tidak ada yang salah dalam senyumnya, namun jika dilihat lebih dekat ada sebuah tanda biru yang terlihat sangat jelas di lengan sebelah kanan salah satu dari kedua anak manis tersebut.

Memorinya memutar kejadian yang tak akan mungkin dia lupakan. Sebuah luka fisik pertama yang dia dapatkan. Masih terekam jelas dalam ingatannya bagaimana rasa sakit dan perih lengannya saat itu. Tidak, mungkin bukan hanya lengannya. Jika bisa terlihat punggungnya mungkin juga harus memberikan kesaksiaan atas rasa sakitnya kala itu. Tidak ada yang bisa dilakukan dari seorang anak lima tahun yang belum mengerti banyak hal kala itu. Perlawanan yang dilakukan hanyalah raungan sakit dan permintaan maaf, yang entah sebetulnya dia lakukan atau tidak.

"Awww hikss, cukup Papah. Punggungnya kakak sudah beldalah,"

"Mamah, tolong kakak. Lengan kakak nyut nyut pelih mamah."

Melodi kembali tersadarkan oleh langkah sang mamah yang kembali menuju ke ruang makan. Melodi memasukkan suapan roti ke mulutnya, lantas mengunyahnya dengan cepat. Dia menegak segelas air putih dan mengelap sudut bibirnya dengan tisu. Sang Mamah sudah kembali duduk di kursi, tetapi kini fokus dengan handphone di tangannya.

Melodi bergegas mencuci piring bekas roti panggangnya, walaupun Mbok Ani sudah melarang keras bahwasanya biar ia saja yang melakukan. Namun Melodi tetap kekeh pada pendiriannya. Lagian mencuci piring hal yang sangat mudah bukan, kenapa harus melibatkan orang lain.

"Mah, Melodi mau berangkat. Ongkos dong mamah. Hehe," Melodi berdiri di hadapan sang Mamah, sambil mengulurkan dua tangannya sebagai simbol untuk meminta uang. Sang Mamah lantas merogoh saku di kantong celanannya dan menyerahkan uang dua puluh ribu.

"Buat seminggu ya kak," Ucap sang Mamah namun tatapannya masih terfokus pada benda persegi panjang yang sedang ia genggam itu, "Siap Laksanakan," ucap Melodi sambil hormat dengan tangan kananya. Tidak ada yang merespon tindakannya itu. Melodi hanya tersenyum lirih, sambil kembali menurunkan tangannya.

"Yaudah, Melodi pamit ya Mamah. Dadah,"

"Mbok, Melodi pamit menuntut ilmu ya!" Ujar Melodi ke arah Mbok Ani yang sedang menjemur di teras Rumah.

"Hati-hati Non,"

Seperti hari-hari biasanya, dia melangkahkan kaki ke simpang jalan untuk menaiki angkot langganannya. Menikmati udara pagi yang sedikit mendung pagi ini. Melodi memilih tempat di pojok angkot dengan jendelanya yang dia buka. Dia memejamkan matanya sambil menghirup udara pagi yang sebetulnya sudah berbaur dengan polusi. Setidaknya pagi ini lebih baik dari sebelumnya, pikirnya dalam hati.

MELODI Yang MemilukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang