Aku Ingin Menjadi Seperti yang Kuinginkan - Aulia Rizki Fahmayanti

29 4 0
                                    

"Nak, bangun, ini sudah pagi!"

"Sebentar, bu."

"Cepat! mau jadi apa kamu, nak. Bangun pagi saja susah."

"Sebentar, bu, 5 menit lagi."

"Idaaa!!"

Aku mendengar suara ibuku yang berteriak. Gawat, sepertinya ibuku sedang marah. Dengan terpaksa aku pun mencoba  bangun walau mataku sangat sulit untuk terbuka. Oh, mungkin ini karena semalam aku membaca cerita terlalu lama hingga tak tahu waktu. Aku menguap di depan ibuku.

"Hooaamm, masih mengantuk, bu." 

Jangan tidur lagi! ibu mau ke pasar, kamu beres-beres rumah ya, nak" kata ibu.

"Iya, bu. Ini Ida juga mau mandi dulu."

"Habis mandi langsung sarapan, ibu mau ke pasar belanja kebutuhan rumah. Oh, iya, ayahmu sudah berangkat kerja tadi."

"Siap, bu." jawabku sambil mengangkat tangan ke atas dahi

Kulihat ibuku berjalan keluar kamar dan menutup pintu. Aku pun menghela nafas lega. Oh, iya, perkenalkan, namaku Harida. Orang-orang biasa memanggilku dengan sebutan Ida. Usiaku baru menginjak 16 tahun dan duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Sama seperti kebanyakan orang, aku pun mempunyai cita-cita yang kurasa ini hebat. Ya, aku ingin menjadi seorang psikolog.

Aku adalah anak tunggal. Itulah mengapa aku sering iri dengan mereka yang memiliki saudara kandung. Kupikir, pasti rasanya seru jika mempunyai teman bicara, bermain, dan melakukan banyak hal seru bersama. Oh, iya, aku tinggal di sebuah kota kecil bersama ayah dan ibuku. Kami hidup dengan kondisi yang serba berkecukupan. Namun, semua itu tak jarang masih membuatku merasa sepi jika ibu dan ayah sedang tak ada di rumah.

Usai selesai dengan segala aktivitasku di rumah, aku berjalan ke arah meja makan untuk sarapan. Setelahnya, aku mencuci piring dan menyempatkan waktu untuk membersihkan lantai.

"Huuft, akhirnya selesai." bisikku dalam hati. Sepertinya aku akan jalan-jalan keluar sebentar sekadar menghirup udara bebas.

Aku menyukai udara pagi hari ini. Rasanya begitu sejuk dan sepi. Tak sedikit orang-orang yang tengah berlalu-lalang. Tapi, ada satu hal yang menggangguku. Aku melihat orang aneh yang sering mengganggu orang-orang di sekitarnya yang sedang berlalu-lalang hingga membuat kekacauan. Orang-orang menyebutnya sebagai, 'orang gila'.

Kucoba memperhatikan bagaimana orang gila itu membuat keributan, hingga membuatku merasa ibah dengan kondisinya. Aku sering mendengar stigma orang-orang di sekitar yang berkata, "Apakah dia 'orang gila' bisa disembuhkan? Tapi dengan cara apa? Dan kenapa tidak ada satu pun yang peduli untuk membawa orang itu ke rumah sakit jiwa?"

Andai ada cara lain dan aku bisa membantu orang itu untuk pulih kembali, pikirku. Namun apalah daya, hanyalah seorang gadis biasa yang belum mengerti banyak hal.

Kupikir dengan menjadi seorang psikolog, setidaknya aku dapat membantu memulihkan kembali orang itu. Kelak, aku ingin membantu meringankan permasalahan orang-orang yang mungkin depresi akibat pekerjaan, masalah keluarga, ataupun tentang relationship. Dan kurasa, dengan menjadi seorang psikolog dapat membantu banyak orang untuk berpikir lebih jernih, positif, untuk dapat berjuang melanjutkan hidup agar tidak menyalahkan diri sendiri.

* * *

Makan malam telah tiba. Ku sampaikan keinginanku pada ayah dan ibu perihal cita-cita. Kuharap, mereka akan senang dengan apa yang akan aku sampaikan. Aku melangkahkan kaki dengan percaya diri menuju arah meja makan. Rupanya sudah ada ibu dan ayahku yang sedang menunggu.

"Menurut ayah, Ida cocoknya jadi apa?" tanyaku dengan nada penasaran.

"Hm, sepertinya, Ida cocok kalau jadi dokter. Dari dulu, ayah dan ibu ingin sekali melihatmu menjadi dokter." jawab ayah dengan penuh keyakinan.

"Tapi kan Ida inginnya jadi psikolog, yah."

"Ida nanti jadi dokter saja ya, nak, ibu tuh pengen anak ibu jadi dokter. Apalagi cuman Ida harapan ibu sama ayah. Biar nanti kalau ibu sama ayah sudah tua terus sakit-sakitan, kan ada Ida yang bisa merawat kami di rumah, jadi nggak perlu bolak-balik rumah sakit."  (Sahut ibu).

"Tapi yah, bu, Ida tidak ingin jadi dokter, Ida selalu takut dan mual. Ida hanya ingin jadi psikolog."

"Memang Ida mau jadi psikolog? Ida mau mengurus orang yang punya gangguan jiwa? Itu sangat merepotkan Ida. Ibu kurang setuju. Mending Ida jadi dokter saja seperti tantemu!"

"Ibu kok mikirnya gitu? Pekerjaan psikolog nggak seburuk itu kok, bu. Justru menurut Ida, jadi psikolog itu menyenangkan karena bisa membaca ekspresi seseorang."

Rupanya ibu tidak mengerti tentang psikologi. Yang ibu tahu, pekerjaan psikolog hanya berurusan dengan orang-orang yang memiliki gangguan jiwa. 

"Tapi jika ayah dan ibu tidak setuju dengan cita-cita Ida bagaimana?" tanya ayah.

"Mengapa ayah dan ibu tidak setuju?" 

"Karena ayah dan ibu tidak ingin jika nanti Ida akan mengurus orang-orang seperti itu. Biarkan saja mereka seperti itu" terang ayah yang seolah tak peduli.

"Ayah, mereka juga ingin hidup normal. Ida sangat menyenangkan jika melihat orang-orang yang seperti itu hidup dengan lebih baik. Kelak, jika Ida sudah kuliah, Ida akan mengambil jurusan Psikologi!"

"Baiklah, jika Ida inginnya itu, ayah bisa apa. Tapi jika nanti Ida berubah pikiran, itu lebih bagus."

"Ida mana mungkin berubah pikiran." terangku pada ayah.

"Tapi Ida, bukankah jadi dokter lebih bagus? Kamu juga bisa menyembuhkan banyak orang, nak." tanya ibu memastikan.

"Tapi Ida tidak suka dengan darah, bu. Apa salahnya jika Ida ingin menjadi psikolog? Ibu, tugas seorang psikolog itu memiliki peran yang cukup mendalam untuk melakukan pencegahan, mendiagnosis, dan mengetahui penyebab seseorang mengalami gangguan pada kesehatan mental." Aku merasa sangat lega dapat menjelaskan semua ini kepada kedua orang tuaku.

"Ya sudah, terserah Ida saja, tapi ibu masih sangat berharap kamu bakal jadi dokter." ungkap ibu.

"Iya, bu."

"Bagaimana jika Ida mulai sekarang belajar agar tidak takut dan mual jika melihat darah? Supaya Ida takut lagi jika kelak mau jadi seorang dokter."

Aku hanya tertunduk diam, memandangi hidangan makan malam yang kian mendingin tak tersentuh.

"Ya sudah, ibu tidak akan memaksa lagi. Ibu serahkan kepada Ida."

"Terima kasih, bu, serahkan saja kepada Ida."

Tak terasa makan malamku bersama ibu dan ayah telah usai. Sesegera mungkin aku membereskan meja makan dan beranjak kembali ke dalam kamar.

* * *

Mungkin mulai saat ini aku akan mempelajari tentang ilmu psikologi. Membaca artikel tentang upaya apa saja agar menjadi seorang psikolog. Seorang yang ahli dalam mempelajari proses mental seseorang, mengetahui perilaku manusia, hingga menjadi problem-solver. Semoga, cita-citaku ini tergapai. Meskipun masih terdengar asing bagi sebagian orang, termasuk kedua orang tuaku. Ya, semoga saja.

Writer: Aulia Rizki Fahmayanti

Kala Sadajiwa: Antologi Cerpen MAN Kota PalopoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang