Biarkan Warna yang Sampaikan Renjana - Mahesa Putri Lukman

33 6 2
                                    

"Sedang menggambar apa, Asha?"

Pertanyaan itu berlalu bagai guyuran ombak tengah malam. Terdengar lembut, tapi dinginnya merasuk ke dalam hati.

Asha tetap diam, membiarkan hening mengambil kendali antara mereka berdua. Lidahnya kelu tak mampu bergerak. Dan seperti biasa, ia tidak tahu cara untuk berbicara dengan ibunya.

"G-gambar komik...." cicitnya gugup.

Seseorang yang telah dilahap api amarah, tidak bisa ditenangkan oleh desir angin yang lembut. Tanpa peringatan, sang ibu merampas tumpukan kertas di meja belajar Asha. Wanita itu berlalu keluar kamar dengan langkah bergema di seisi rumah.

Dengan hati beraduk pilu, Asha menyusulnya diam-diam. Ia mengintip hati-hati dari balik pintu kamar. Dilihatnyalah sumber kemurkaan ibunya hari ini.

"Apa meninggalkan kami juga bagian dari pengorbananmu untuk menggapai mimpi?" Ibunya bertanya pada sosok berpakaian mewah. Sosok yang sangat familiar, tetapi terasa asing dengan segala kebohongannya. Sosok yang jauh sebelum hidupnya berada di titik ini, pernah ia panggil 'ayah'.

"Kami tidak butuh uangmu!" lagi dan lagi. Kata 'uang' tak pernah gagal menjadi bagian dari masalah keluarganya. "Sekaya apa pun dirimu, aku tidak akan membiarkan Asha dan Syamsie mengikuti jejakmu menjadi seniman!"

Seusai untaian kalimat berisi renjana putus asa ia ucapkan, sang ibu menyalakan korek api. Nyala kecil di tengah kegelapan biasanya menjadi harapan. Namun jika nyala itu membakar mimpi yang ia rajut dengan peluh dan malam-malam yang tak damai, masihkah bisa ia menatap kagum pada nyala api itu?

Lagi-lagi, Asha hanya bisa terdiam sembari memandangi gambar dan lukisannya perlahan dimakan api. Ia hanya terus bergeming menyaksikan hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun lenyap menjadi abu sebab angkara murka para orang dewasa.

Meski hatinya hancur, ia tetap diam. Karena ia telah belajar melalui jalan yang keras. Diam jauh lebih baik dibanding berbicara dan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Orang tuanya juga berpisah, karena mereka lebih memilih mengungkapkan ego masing-masing dibanding mengalah untuk diam sejenak.

Asha kembali duduk di depan meja belajarnya. Poster 'Lomba Membuat Komik' terpampang abai. Tugas sekolah dan pekerjaan rumah sudah sejak tadi ia selesaikan. Torehan ide dalam wujud komik singkat untuk lomba itu sudah ia selesaikan juga sebenarnya. Hanya saja, semuanya hangus dibakar sang ibu di hadapan 'mantan' ayahnya.

Ia menggenggam sebatang pensil. Goresan tanpa emosi ia tuangkan, menjadikan coret-coret tanpa makna sebagai penghias buku sketsanya. Ia terperangkap dalam dunia imajinasi, membiarkan waktu berlari meninggalkannya, hanya agar ia tidak perlu tersakiti oleh teriakan orang tuanya yang semakin menjadi di luar sana.

Tak ada yang tak berakhir. Seperti petang yang menjemput, temaram senja memberitahu, usai sudah pertengkaran ibu dan ayahnya. Kembali rumah ini dibalut sunyi. Ayahnya pun masih tidak mengerti makna sebuah 'rumah' dan beranjak kembali ke 'istana'nya di kota besar.

Suara ketukan pintu menghentikan gerakan pensilnya. Pintu kamar terbuka, menampakkan sosok wanita yang menyedihkan. Matanya sembab dan merah, raga terpaku lelah, dan hati tak lagi mampu membendung kesedihan.

"Makan, nak," ajaknya tegas. Ia ingin terlihat tetap kuat, tapi nyatanya ia tetaplah rapuh seperti setiap insan di dunia ini.

Makan malam berlangsung seperti tak ada badai yang baru saja menerjang. Tenang dan damai. Makanan tersaji dengan lengkap, dari nasi hingga lauknya. Meski mereka tidak pernah berlebih, sang ibu tidak pernah membiarkan anak-anaknya kelaparan.

"Maaf ibu membakar gambarmu," sang ibu membuka percakapan, lalu menanyakan kehidupan sekolah Asha, "bagaimana sekolahmu?"

"Baik," jawabnya singkat.

Kala Sadajiwa: Antologi Cerpen MAN Kota PalopoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang