. . . .
Pagi yang sedikit lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Setidaknya Hazel tidak berangkat seorang diri lagi ke sekolah, kini ada yang menemaninya menyetir hingga melewati koridor untuk sampai di kelas.
Ya, hari ini Anya sudah kembali masuk sekolah setelah sekian lama. Suasana yang kemarin-kemarin suram sepanjang minggu, sedikit memudar.
Beberapa nampak menyambut kedatangan gadis berambut panjang dengan raut ceria itu. Aura Anya masih sebersinar dahulu, meski wajahnya sedikit pucat. Kedua bawah matanya sedikit berisi dan gelap.
"Kak Anya!" Sapa Anneth, melambaikan tangan antusias.
Langkah Hazel dan Anya memelan perlahan, Anya melempar senyum. "Halo!" Balasnya hangat.
"Halo juga, Deehan!" Tambah Anya melirik lelaki di sebelah Anneth yang terlihat hanya menyimak.
Deehan berangsur gugup, dia jarang berinteraksi dengan senior. Meski Anya berada di satu kelompok bimbingan olimpiade dengannya, Deehan masih belum terbiasa.
"H-hai, Kak..." Deehan menyahut ragu.
Hazel refleks menyeletuk jenaka, "kaku amat, kayak kanebo kering."
Anneth dan Anya kompak terkekeh lucu, raut Deehan memang setegang itu. Sepertinya rumor yang beredar tentang kesenioritasan tidak begitu berlaku di depan kakak beradik Adelard ini.
"Seneng bisa liat Kak Anya masuk lagi, welcome back!" Anneth berseru bahagia.
"Terima kasih," balas Anya ramah. "Kalian berdua mau kemana pagi-pagi gini?" Tanyanya kemudian.
"Mau ke perpustakaan, nyusul Nata." Anneth menjawab cepat. "Deehan minta temenin, hehe."
Yang disebut hanya tersenyum tipis sembari memperbaiki letak kacamatanya. Anya dan Hazel hanya manggut-manggut tanda mengerti. Anneth pun pamit dan duluan berlalu bersama Deehan.
Sementara itu, Hazel dan Anya melanjutkan perjalanan mereka diselingi debat ringan. Anya ingin singgah dulu di Sekretariat OSIS, dan Hazel melarangnya. Si sulung hanya tidak ingin adik cantiknya ini kelelahan di hari pertamanya masuk sekolah setelah sekian lama.
"Cuman liat keadaan, kok. Bentaran doang, nggak lama." Anya masih berusaha bernegosiasi.
"Ntar tangan lo gatel pengen kerja ini itu. Gak boleh, langsung ke kelas aja." Hazel tetap pada argumennya.
"Bentar aja, Hazel..." Rengek Anya lagi.
"Nggak," balas Hazel mutlak.
Wajah Anya perlahan berubah murung, kepalanya tertunduk lesu menatap kedua ujung sepatu yang melangkah lamban. Padahal dia sangat ingin melihat Taksa, mengucapkan bela sungkawa yang sepertinya sudah sangat terlambat.
Anya baru mendengar kabar itu kemarin, Hazel yang memberitahunya sebelum ponsel Anya dia berikan. Ya, Hazel tidak mau Anya drop karena shock melihat berita mengejutkan tersebut. Untung saja Anya sudah bisa mengendalikan emosinya akhir-akhir ini.
Di sisi lain, sebenarnya Hazel tidak sepenuhnya khawatir akan kesehatan Anya. Dia hanya tidak mau Anya bertemu Taksa. Entah mengapa, firasatnya membawa hawa tidak mengenakkan sejak kematian Deeva beberapa minggu lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TRUTH UNTOLD
Teen FictionTentang kebenaran, janji, rasa, rahasia dan nyawa yang melolong pilu di bawah langit Bern. ©imurbaeeeee, 2020