˙˙˙
Angin muson Barat bertiup samar, membawa hawa musim hujan dari lautan atlantik di kutub Selatan. Dedaunan bergerak perlahan, bergesekan mengikuti tempo sepoi-sepoi angin.
Pekarangan luas sebuah rumah berarsitektur eropa kuno itu terlihat sepi. Hanya gemericik air kolam tanpa penghuni dan gesekan dedaunan tadi yang mengisi.
Dulu ada banyak burung Dara berbulu putih bersih di sana, bergerombol mencari makanan setiap pagi dan sore hari mengitari kolam air mancur. Atau hinggap dan berbaris rapih di atap rumah.
Pemandangan yang menenangkan. Namun, setelah pemiih aslinya pindah dan rumah yang cukup besar itu dihuni oleh orang baru, satu persatu burung Dara tersebut hengkang. Mereka beterbangan mencari persinggahan baru seolah merasa tidak nyaman lagi dengan tempat itu.
Harusnya matahari bersinar terang tepat di atas kepala kalau saja kawanan cumulonimbus tidak memenuhi langit, menghalau sinarnya sampai ke bumi. Suasana menjadi gelap dan sedikit lembap.
Salah satu daun pintu utama lantai dua terbuka, seorang anak lelaki berdiri di sana. Kedua mata sipitnya menyorot malas setelah menyapu bersih seisi pekarangan di bawah sana. Bibir sekelabu marmer miliknya terdiam, membentuk kurva horizontal mengikuti lekuk tengahnya.
Anak itu mencipta langkah meninggalkan ambang pintu, masih dengan Netra memandang kesana-kemari. Sesuatu yang menarik langsung saja menghentikan langkahnya saat menatap kearah pembatas balkon.
Tanpa sadar, sorot malasnya dengan cepat berganti. Dia menggerakkan kedua tungkai menuju pagar pembatas. Saat sampai di sana, tangannya terulur untuk meraih seekor Dara berbulu kelabu.
Entah darimana asalnya hewan indah ini. Anak lelaki itu sekejap merasa senang. Dulu, sekitar sebulan yang lalu, dia sangat senang bermain dengan para kawanan Dara Putih yang bergerombol pada tepi kolam air mancur di pekarangan bawah.
"I'm feel lonely since them gone," monolog anak itu sembari mengusap kepala makhluk cantik di tangannya tersebut.
Tidak ada siapapun yang menjadi teman anak lelaki berhidung mancung dengan bibir tipis nan pucat ini. Tatapan sayu dan mengintimidasi selalu menyorot kuat dari kedua mata sipitnya.
Auranya begitu kelam. Anak-anak di sekitar sana merasa canggung dan kaku untuk menyapanya terlebih dahulu. Yang selalu mampu menghibur, hanyalah para Burung Dara putih yang sekarang raib entah kemana.
Anak itu kembali berucap, sedikit berbisik. "Im glad to you attend." Yang entah mengapa terdengar serak dan menyeramkan dalam satu waktu.
Tangannya bergerak pelan menjamah sayap kiri sang Dara kelabu, tanpa hitungan menit, dia berhasil mematahkannya. Makhluk itu menggeliat, menggepakkan sebelah sayap yang tersisa.
Dia mempererat genggaman pada tubuh Dara tersebut, mematahkan sayap yang lain. Mengerjapkan mata sekali, anak itu menarik napas dan menghembuskannya dengan sangat pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TRUTH UNTOLD
Teen FictionTentang kebenaran, janji, rasa, rahasia dan nyawa yang melolong pilu di bawah langit Bern. ©imurbaeeeee, 2020