• • •
Ketukan dari luar mengisi hening yang sedari tadi mengambil alih tenang ruangan serba putih itu. Seorang lelaki gagah berjas putih mengalihkan pandangan, seiring dengan daun pintu yang terbuka.
Ah ya, hari ini Ansel ada janji konsultasi dengan salah satu. Banyak tanda tanya di kepala, mengapa pasiennya ini datang lagi sejak bertahun-tahun pulih. Sejujurnya, Ansel juga penasaran hingga menanti saat itu tiba.
"Selamat siang, nyonya Adelard," sapa Ansel ramah.
"Siang, Dokter." Anna menunduk samar, menggandeng kedua lengan buah hatinya erat.
"Selamat siang, adik kembar dokter," sapa Ansel lebih akrab, menatap Anya dan Hazel bergantian. Anya tersenyum kecil, berbeda dengan Hazel yang terlihat murung dengan tatapan kosong.
Setitik hati Ansel seketika nyeri melihatnya, dia sudah mendengar cerita Anna dari telepon. Dia sangat sedih, Hazel si ceria yang selalu menjadi tameng sang adik, kini mendapatkan lagi trauma mengerikannya.
"Nyonya dan Anya bisa menunggu di ruangan tunggu," ujar Ansel melirik sebuah bilik dengan pembatas kaca di sudut ruangan. Itu adalah ruangan tunggu bagi keluarga yang mengantar, Ansel ingin melakukan pemeriksaan dengan Hazel di mejanya.
"Bunda sama Anya kesana dulu, ya?" Anna mengusap lengan Hazel hangat. "Dokter Ansel mau ngomong berdua sama Hazel."
Lelaki itu hanya mengangguk pelan, tidak berani menatap siapapun, baik Anna maupun Anya. Rasa bersalah tidak henti menghantuinya, apalagi jika bukan tentang kejadian di balkon bertahun-tahun silam. Gema intimidasi Kai sore itu, terus saja berputar di kepala bak kaset yang sengaja diulang-ulang.
"Hazel gimana kabarnya?" Sapa Ansel pertama-tama.
Ansel seperti relapse melihat bocah gembul dengan rambut keritingnya sepuluh tahun lalu, menunduk penuh rasa bersalah dengan pipi bulat yang menggemaskan.
"Nggak baik, dokter." Hazel menggeleng pelan.
"Kok nggak baik?" Ansel bertanya lembut.
Hazel menatap sudut sepatunya sendu. "Saya jahat, saya membunuh adik saya."
"Hazel ingat, nggak pembicaraan kita sepuluh tahun lalu?" Tanya Ansel berusaha menyingkirkan pemikiran tersebut dari kepala Hazel.
"Di tempat yang sama, di sini. Kita udah sepakat buat menganggap kejadian tersebut adalah sebuah kecelakaan," tutur Ansel penuh kesabaran.
Hazel memberanikan diri mengangkat kepalanya. "Kecelakan itu terjadi karena saya nggak bisa jagain adik saya."
"Saya bukan kakak yang baik, itu sebabnya kemarin Anya kembali mendapatkan traumanya," sesal Hazel dengan intonasi rendah.
"Hazel sudah menjadi Kakak yang baik buat Anya, buktinya dia bisa sembuh atas support Hazel selama ini." Ansel membuka suara. "Kamu harus kembali semangat dan tersenyum, adik kamu pasti sedih melihat kamu uring-uringan seperti ini. Jika kamu begini, siapa yang juga nanti akan melindungi Anya?"
"Bagaimana saya hendak melindungi Anya yang sekarang, jika menjaga adik saya yang sekecil itu saja tidak becus. Saya tidak berguna, dokter." Hazel kembali menunduk, meletakkan kedua telapak tangan di kepala—menghalau pening yang melanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TRUTH UNTOLD
Ficção AdolescenteTentang kebenaran, janji, rasa, rahasia dan nyawa yang melolong pilu di bawah langit Bern. ©imurbaeeeee, 2020