Bad Teacher
By Tamara Aruna
Aku tersentak dari tidurku dan terjaga.
Petir menyambar di luar jendela kamarku yang belum kututup tirainya, disusul gemuruh suara guntur yang memekakkan telinga. Entah sejak kapan hujan turun selebat ini. Aku ketiduran saat membaca buku sebelum tidur. Kaca mata masih bertegger di hidungku. Posisiku pun masih duduk bersandar di kepala ranjang. Aku melepas kacamata dan beranjak dari tempat tidur untuk menutup jendela. Air hujan memerciki lantai kamarku. Tepat saat jendela terkunci, tiba-tiba seluruh lampu di dalam kamarku padam. Aku melongok ke luar. Lampu-lampu jalan dan rumah-rumah tetangga juga ikut padam. Mulutku sontak memaki kecil. Sambil menggosok mata, aku berbalik dan menguap lebar-lebar. Ngantuk sekali rasanya. Setelah menanggalkan kaus dan hanya mengenakan boxer, aku berjalan menghampiri ranjangku lagi. Mengendap-endap dalam kegelapan.
Tiba-tiba, terdengar suara napas yang datangnya dari arah pintu kamarku.
Aku memincingkan mata.
"Siapa di situ?" tanyaku.
Sebuah suara kecil menjawab, "Ichan...?"
"Woah!" pekikku kaget. Begitu suara manis Nora terdengar, sosoknya turut muncul dan terlihat cukup jelas. Pasti dia ketakutan lagi gara-gara lampu padam. "Apa yang kamu lakuin di situ? Kamu bikin aku kaget, Nora. Belum tidur?"
"Sudah," jawabnya, suaranya mencicit. "Aku kebangun gara-gara petir. Lalu... lampunya tiba-tiba padam. Apa kamu nggak mau mengeceknya?"
"Sepertinya memang ada pemadaman karena cuaca," kataku. "Aku barusan memeriksanya ke luar. Kamu mau aku pasangin lampu emergency di kamarmu?"
Mataku yang sudah semakin bisa menyesuaikan kegelapan melihat kepala Nora menggeleng. "Aku telanjur takut...," katanya sambil memeluk bonekanya semakin erat. "Boleh aku tidur di sini? Aku takut, Ichan...."
Aku terdiam.
Namaku Ichsan, tapi Nora selalu memanggilku Ichan.
Secara teknis, Nora bukan siapa-siapaku. Tapi bagaimanapun juga, tahun ini usianya sudah menginjak tujuh belas tahun. Dia sudah dewasa meski tubuhya sangat mungil. "Gimana kalau kutemani aja di kamarmu sampai kamu tidur?"
"Okay...."
Aku kembali turun dari ranjang dan mengikuti Nora ke kamarnya. "Nora... kamu harus berhenti manggil aku Ichan," kataku sambil mengekorinya.
"Kalau di sekolah, aku akan manggil kamu Pak Ikhsan. Kalau di rumah nggak bisa," katanya.
Ayah tiri Nora adalah kakak laki-lakiku. Dia sedang bekerja di luar negeri dan menitipkan Nora padaku. Ibunya menikahi kakakku sekitar sepuluh tahun lalu, tapi sebuah kecelakaan maut merenggut nyawanya beberapa tahun lalu. Tepat di malam berhujan lebat seperti ini. Kakakku terpaksa merawat Nora karena ayah kandung gadis itu tidak kunjung jelas keberadaannya. Saat mantan istrinya meninggal, dia bahkan nggak muncul di pemakamannya.
Jauh sebelum Kristin tiada, kakakku sudah menampungku tinggal bersama keluarga barunya. Saat itu aku baru lulus SMA dan Nora baru berusia dua belas tahun. Aku sudah seperti kakaknya sendiri. Ibuku meninggal sehari sebelum hari kelulusanku dan Ivan adalah satu-satunya keluargaku yang tinggal sekota. Ivan dipindahtugaskan ke Singapura setahun lalu, dia tidak bisa membawa Nora karena gadis itu sudah telanjur diterima di SMA. Sekarang aku sudah lulus dan besok adalah hari pertamaku mengajar di sekolah yang sama.
"Tidurlah...," suruhku. Aku duduk di tepi ranjang.
"Apa besok kamu sudah mulai ngajar?" tanya Nora sembari berbaring di balik selimut, memeluk bonekanya. Aku mengangguk. "Apa kamu bakal mengajar olah raga di kelasku?"