Part 3

16 0 0
                                    

"Karin?" "Adit" ucap kami bersamaan karena rasa terkejut. Ya, yang berada diambang pintu adalah seorang adit. Entah apa gerangan dia ada disini.

"Kamu tinggal disini, Karin?" tanya penasaran

"Iya. Kamu ada perlu apa kemari?" tanyaku balik karena sama penasarannya seperti adit.

"Aku kesini mau bertemu dengan pak Amar." Jawab Adit.

"Oew, nyari bang Amar ya? Kebetulan dia tidak dirumah saat ini." Kataku.

"emm,,, kamu—" ucapan adit terpotong oleh kata-kataku.

"Aku istrinya Bang Amar." Jawabku sambil mencoba tersenyum dan menjawab rasa penasarannya.

"Maaf, Adit. Aku tidak bisa mengajakmu masuk, karena aku harus segera pergi. Jika kamu ingin bertemu dengan Bang Amar, sebaiknya kamu kembali lagi besok, atau langsung hubungi nomornya." Kataku. Adit sempat bingung dengan kata-kataku. Namun tak urung dia mengangguk dan pamit pulang, karena ada beberapa keperluan penting lainnya. Dia sempat menawarkan tumpangannya padauk, namun aku kembali menolaknya dengan halus.

Setelah mobil adit menjauh, aku bergegas keluar rumah dan menutup pintu. Beruntung taksi yang ku pesan sudah tiba di depan rumah. Aku buru-buru masuk kedalam taksi, agar tidak bertemu dengan Bang Amar.

Saat tiba dipersimpangan jalan komplek rumah, taksi yang ku tumpangi berpapasan dengan mobil bang Amar. Sepertinya bang Amar tidak menyadari kalau aku yang berada dalam taksi, aku bersyukur untuk itu. Namun tak berapa lama handphone ku berbunyi, dan tertera nama bang Amar disana dan aku membiarkanya tanpa berniat mengangkat telepon darinya. Mungkin dia sudah menyadari kalua barang-barangku sudah tidak ada lagi dikamar itu. Beberapa kali dia terus menghubungiku dan mengirim pesan. Aku tak berniat sama sekali untuk mengangkat ataupun sekedar membalas smsnya. Aku lebig memilih mematikan ponselku.

Seminggu sudah aku keluar dari rumah itu. Bang Amar terus mencoba menghubungiku. Karena kesal aku mengganti nomor ponselku agar tidak diketahui olehnya. Aku sudah mengurus semua berkas yang dibutuhkan untuk proses perceraianku dan bang Amar. Tinggal menunggu panggilan dari pengadilan. Dan tepat seminggu kemudian surat itu sudah dikirimkan kepadaku dan bg amar. Aku pun sudah menerimanya.

Hari ini aku memutuskan untuk bertemu sahabatku di cafe langganan kami dulu. Ada banyak hal yang harus kami bahas bersama. Setibanya aku di cafe, aku langsung masuk dan mencari keberadaannya. Setelah menemukannya duduk di pojok cafe, aku langsung menghampirinya.

"Hai Res," sapaku

"Hai juga Na." balasnya

"Udah lama ya? maaf aku telat." Kataku, menyesal karena membuatnya menunggu.

"Tidak kok, baru juga ini." Jawabnya

"Udah pesan minum?"

"Udah donk. Bahkan aku juga sudah pesankan untukmu. Seperti biasakan?"

"wah! Kamu masih ingat aja Res." Kataku sambil melirik minuman yang sudah dipesan resti untukku.

"Jadi, apa yang bisa aku bantu Na?" to do point Resti

"Gini Res," ucapku menjeda kata-kataku, dan menghembuskan nafas sejenak. "Aku ingin kembali melanjutkan apa yang pernah aku rintis dulu." Lanjutku

"Maksudmu, kamu akan kembali lagi?" tanya antusias

"Iya, aku akan ambil alih kembali, apa yang sempat aku tinggalkan sebelumnya." Jawabku tenang

"Benarkah? Syukur deh kalau begitu. Aku jadi punya waktu senggang." Ucapnya dengan binary bahagia

"Maksudmu? Selama ini kamu terlalu sibuk gitu?" tanyaku malas

"Iyalah, kamu gak tau kan gimana repotnya aku selama kamu gak ada. Semua aku yang handel Na."

"hmm" aku hanya memutar bola mata malas menanggapi ocehannya.

Memang ada benarnya apa yang dikatakan Resti, kalau selama ini aku melimpahkan semua tanggung jawab padanya. Mak sekarang saatnya aku kembali. Biarkan masa lalu hilang terhapus masa seiring berjalannya waktu.

"Na, selesai dari sini kamu mau kemana?" tanya Karin sesaat setelah kami selesai menyantap hidangan yang sudah dipesankan Resti tadi

"Tidak tau, sepertinya aku akan langsung pulang. Kalau kamu?" tanyak balik, karena memang tidak ada yang ingin ku lakukan lagi disini.

"Aku rencananya akan kembali ke kantor dan akan segera menyiapkan semua keperluanmu untuk nantinya saat kamu kembali." Ucapnya sambil tersenyum penuh arti.

"hmm, baiklah. Semoga semuanya lancer." Kataku padanya

"Aamiin. Semoga aja Na. Aku yakin kamu pasti bisa menghadapi dan melewati semua ini."

"Makasih Res, kamu memang yang terbaik."ungkapku

"Sama-sama. Aku tau kamu Na, kita sudah sama-sama sejak lama. Kamu kuat Na. Semangat ya!" Resti terus menyemangatiku. Ya, Resti tau semuanya, karena sebelumnya aku sudah menceritakannya pada Resti sebelum kami mengatur waktu temu kami.

"Iya. Sekali makasih ya Res."aku tersenyum kearahnya dan dia membalasnya. Aku beruntung memiliki sahabat seperti Resti. Dia selalu mengerti aku, dan selalu ada untukku dalam keadaan apapun, begitu pun sebaliknya.

Tak terasa kami sudah menghabiskan banyak waktu disana. Setelah semua urusan kami selesai, kami memutuskan untuk pulang. Resti juga pamit duluan, karena ada beberapa hal yang harus ia selesaikan untuk keperluan kami nanti.

Saat berada di depan pintu keluar cafe, aku tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang hingga membuatku terhuyung kebelakang dan hamper terjatuh kalau tidak ada sebuah lengan yang menahan pinggangku. Mengatur degup jantung, aku mencoba mengangkat pandanganku melihat siapa yang menahanku. Seketika pandangan kami bertemu.

DEGH!

JODOH KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang