Mimpi yang Tidak Akan Pernah Terwujud

284 25 1
                                    

Davian tersenyum melihat Ibu tirinya yang sedang bercanda dengan sang Ayah. Dia sangat senang karena dapat melihat senyuman sang Ibu walau harus dari kejauhan. Tapi sejujurnya, Davian ingin sekali melihat tawa Ibunya itu dari dekat. Apalagi kalau tawa bahagia itu karena dirinya.

“Dav, kenapa di sini?” tanya Ravian yang menyadari Davian hanya diam di depan kamarnya sambil memandang ke ruang keluarga.

Davian menggeleng, “habis minum tadi. Lo kok rapih banget bang, mau kemana?”

Ravian melihat penampilannya sendiri lalu tersenyum kecil, “biasalah. Bocil dilarang kepo.”

“Apaan? Gue udah kelas 12 SMA loh.”

“Baru juga kelas 12 SMA.”

Davian berdecak kesal, “bilang aja kalau mau ngedate. Sama si teh Wila kan?”

Ravian yang salah tingkah, langsung mendorong Davian agar masuk ke dalam kamar walau mendapat berontakan dari sang Adik, “naon sih bang? Jangan dorong-dorong!”

“Ravi, Davi, kalian jangan ribut terus hey,” ucap Ayah mereka dari arah bawah.

Davian menahan badannya agar tidak terdorong masuk lalu menjulurkan lidah pada Kakaknya dan lari turun ke bawah untuk menghampiri sang Ayah dan bersembunyi dibalik tubuh Ayahnya.

“Kenapa lagi coba kalian?” tanya Ayahnya saat Ravian sesekali mengoceh sebal sambil melirik Davian.

“Bang Ravi mau malmingan sama teh Wila,” bisik Davian sedikit keras membuat Ravian mendengarnya dengan jelas.

Ravian tanpa pikir panjang langsung melempar bantal sofa didepannya dan tepat mengenai wajah sang Adik, “nyanyahoan budak leutik teh.”

Sang Ayah menggeleng maklum, dia lalu menatap Ravian, “Abang ada uang? Kasian Wila kalau Abang ajak jalan tapi Abang gak ada uang.”

“Ada Yah, uang yang Ayah kasih minggu kemarin masih Abang simpen kok.”

“Tuhkan—“

Naon sia?”

Davian mengerucutkan bibirnya kesal karena belum sempat menyelesaikan kalimatnya tapi Ravian sudah lebih dulu memotong ucapannya. Pandangan Davian tak sengaja menatap Ibu tirinya yang sedang melihatnya dengan tatapan kesal.

Tentu itu membuat Davian sadar apa yang sudah dia lakukan membuat Ibu tirinya tidak suka.

Dia lalu dengan segera keluar dari belakang tubuh Ayahnya dan menundukkan kepalanya. “Maaf.”

Ucapan maaf itu Davian tujukkan buat Ibu tirinya tanpa sadar. Dirinya benar-benar merasa bersalah, karena secara tidak langsung Davian telah menghancurkan waktu Ibu tiri dan Ayahnya.

Ravian, dia menyadari itu, sangat menyadarinya. Karena dia melihat bagaimana Ibunya menatap Davian dengan pandangan tidak suka.

“Mau ikut Abang gak?” ajak Ravian membuat Davian mendongak dan matanya seketika langsung berubah berbinar. Ravian senang, dia senang karena bisa membuat Adiknya menjadi bahagia dan lupa akan sedihnya walau hanya dengan hal kecil.

Terdengar helaan napas dari Ibu mereka, “Ravi, kamu kan mau kencan. Masa Davi ikut? Kasian Wila kalau nanti gak bisa berduaan sama kamu.”

“Gak papa Mah, toh Wila juga suka kok kalau ada Davian. Wi—“

“Enggak bang, gue gak akan ikut. Bener kata Mamah, nanti gue ganggu lagi. Gue mau belajar aja,” potong Davian.

Setelah mengucapkan itu, Davian langsung pergi ke kamarnya tanpa mengucapkan apapun lagi. Membuat Ravian mendesah kecewa karena ucapan Ibu kandungnya pada Davian.

DaviRaviTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang