Impian Davian

167 15 0
                                        

“Lo nginep emang gak minjem baju temen lo? Pulang-pulang masih pake baju seragam,” ucap Ravian saat diperjalanan mengantar Davian ke sekolah.

Davian tersenyum kecil, “gue kan pake kaos juga, jadi ya pas pulang pake baju seragam aja."

“Kenapa gak sekalian mandi di temen lo trus berangkat dari sana? Emang lo gak ribet pulang dulu ke rumah?”

“Kan gue sekalian ngambil buku juga bang.”

Ravian menghela napas lalu mengangguk pelan. Memberhentikan motornya tepat di depan sekolah adiknya lalu dengan segera Davian turun dari motor sang Kakak. Tersenyum lalu pamit untuk masuk terlebih dahulu karena dia memiliki jadwal piket.

Davian sampai di kelasnya langsung merapihkan meja juga membersihkan papan tulis. Tak berselang lama, ke empat temannya datang bersamaan dan langsung menghampiri Davian yang sedang beristirahat setelah melakukan piket kelas.

“Contoh Davi, Jar. Piket tuh dateng pagi, bukan pas mepet masuk,” ucap Satya pada Jarga.

Jarga berdecak kesal lalu menatap Satya sinis. “Lo sama gue gak beda jauh ya anjir, gak usah so bener. Lagian juga ngapain dibersihin kalau nanti kotor lagi?”

“Terus lo ngapain makan kalau nanti laper lagi,” ucap Azka yang tetap fokus pada handphone-nya.

Teman-temannya yang mendengarkan itu sekuat tenaga mencoba menahan tawa mereka, sedangkan Jarga sudah mendengus sambil menatap Azka kesal. Ingin membalas tapi hasilnya akan percuma. Karena dia tahu kalau dia akan kalah bila berdebat dengan seorang Azka Dhiafakhri.

“Oh iya, gue mau ngasih tau masalah Bagas kemarin,” ucap Arseno dengan suara berbisik. “Ternyata ada yang ngelaporin dia, dan guru langsung liat cctv kelas kita. Hukuman paling parah sih skorsing sementara waktu soalnya yang gue tau cctv itu ngarah tepat pas ke kejadian. Jadi pas Davi kena pukulan terus darahan itu pasti kerekam.”

Davian menghela napas pelan. “Gue harap gak akan ada masalah panjang dari sini deh.” Melirik ke arah Safa yang sejak tadi masih tertunduk sedikit membuat Davian merasa bersalah karena ucapannya kemarin.

Satya melirik apa yang sedang Davian perhatikan membuat dia berdecak kesal. “Biasa aja, lagian udah jadi konsekuensinya kali.”

“Kenapa?” tanya Arseno yang bingung dengan ucapan Satya.

“Orang bolot dilarang mengerti.”

“Eh tai, nilai kuis gue kemarin gedean gue ya daripada lo.”

Satya mendecih, “beda 0,5 doang ya bangsat. Gak usah so pinter gitu. Gue sama lo bakal sama sama remedi di kuis kemarin.”

“Yang penting nilai gue lebih gede dari pada lo.”

“Tapi sama sama remedi sama aja lah.”

“Ya enggak lah!”

“Ya—,“

“Lo berdua sama sama bego, udah. Diem sekarang!” ucap Ilona, wakil ketua kelas mereka.

Jarga meneguk ludahnya kasar, “lebih merinding ini ketimbang Seno yang tiba-tiba serius,” gumamnya yang didengar oleh Arseno.

“Berarti gue sama Ilona jodoh,” bisiknya pada Jarga.

“Gak ada nyambungnya ya bangke. Lagian urusin dulu masalah lo jangan so main jodoh jodoh aja,” ucap Jarga.

Arseno menjitak Jarga cukup keras. “Eh kambing, masa depan gak ada yang tau ye. Berharap apa salahnya.”

“Itu lo maksa, bukan berharap!”

Ilona meremat kuat pulpen ditangannya. Dia sedang mengurusi pemasukan uang kas yang diberitahu Tiara, bendahara lain setelah Safa, kalau uang kas sedang banyak kekurangan tapi teman kelasnya itu malah berisik sejak tadi.

DaviRaviTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang