Usaha Tidak Mengkhianati Hasil, kan?

131 18 1
                                    

Ravian menatap handphonenya sendu, kabar dari rumah sakit yang mengatakan bahwa mereka tidak memiliki pendonor ginjal membuat Ravian kehilangan harapannya. Sebab ini sudah rumah sakit ke 7 yang mengabarinya. Tapi dari ke 7 rumah sakit tersebut, Ravian tidak mendapatkan kabar yang dia inginkan.

Melihat keadaan temannya, Haksa dengan segera menghampiri Ravian dan merangkulnya. Tersenyum mencoba mengatakan pada Ravian bahwa semua akan baik-baik saja.

“Gagal lagi,” lirih Ravian.

Hazki mengusap pundak Ravian. “Gak papa, masih banyak kesempatan. Kita cari lagi nanti.”

“Apa bakal keburu?”

“Gak ada kata terlambat. Gue, Jefin sama Jeri juga udah janji bakal bantu kan? Udah lo tenang aja,” melirik jam tangannya lalu menuntun Ravian untuk pergi ke kantin. “Ke kantin dulu ayo. Jefin sama Jeri udah nunggu, kasian mereka bentar lagi kelas.”

Ravian mengangguk pelan sambil menyamakan langkahnya dengan Haksa. Sepanjang jalan, Ravian memikirkan bagaimana ketiga temannya itu dengan tulus membantunya mencari pendonor untuk Adiknya.

Awalnya Ravian hanya ingin membagi ceritanya saja. Dia tidak menyangka jika tiba-tiba ketiga temannya mengabari dia bahwa mereka akan membantu mencari pendonor untuk Adiknya. Walau sampai sekarang belum mendapatkan hasil yang memuaskan, tapi melihat usaha ketiga temannya itu rasanya sudah membuat Ravian tersentuh.

“Lo pada ada kegiatan magang kan?” tanya Jerio.

Haksa berpikir sebentar lalu mengangguk. “Ada pastinya. Cuma kelompok gue belum dapet kepastian. Mereka sih niatnya mau secepatnya.”

“Lo Rav?”

“Jadwalnya 2 bulanan lagi. Tapi gue rada ragu.”

“Loh? Kenapa?” tanya Jefino.

Ravian menghela napas. “Jadwal magangnya sekitar 2 minggu, tapi di minggu terakhir itu bertepatan dengan acara kelulusannya Davi. Kemungkinan kalau gue ikut nanti, gue gak akan dateng ke acara kelulusan dia.”

“Lo udah diskusi jadwal?” tanya Haksa.

“Udah, cuma emang tim gue kebanyakan setuju tanggal segitu. Dan udah di acc juga lusa kemarin.”

Jerio berpikir sebentar lalu tersenyum. “Coba minta libur satu hari aja.”

“Niatnya gitu. Tapi kalau emang gak bisa gue boleh minta tolong sama lo pada gak?”

Jefino mengangguk mantap. “Santai aja. Toh kita udah anggep Davi adik kita juga. Nanti kita yang dateng buat gantiin lo.”

“Iya, santai aja,” imbuh Jerio.

“Kalau gue gak bisa janji sih ya, jadwal magang gue kan belum tentu. Tapi kalau nanti bisa, gue bakal ikut dateng,” ucap Haksa.

Ravian mengangguk pelan lalu tersenyum. “Thanks.”

“Oh iya Rav. Sorry tapi, gimana lo sama Davian?” tanya Jerio pelan.

Diam beberapa saat, Ravian masih enggan menjawab pertanyaan itu. Sebab dirinya sendiri bingung harus menjawab dengan bagaimana.
Hubungannya dengan Davian sampai sekarang masih belum ada perubahan karena dirinya yang masih memberi jarak pada Adiknya itu.

Ravian sendiri sudah berkali-kali diingatkan oleh teman-temannya jika apa yang dia lakukan sekarang itu tidak benar. Tapi untuk Ravian, dia masih malu untuk dekat dengan Davian lagi seperti sebelumnya.

Ravian benar-benar merasa bersalah pada Davian. Bahkan untuk bertemu tatap saja Ravian merasa tidak pantas. Dirinya merasa benar-benar sangat malu untuk menunjukkan wajahnya pada Davian.

DaviRaviTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang