Rasa Sesal

250 21 2
                                    

Tomas memandang anaknya, Davian, yang masih setia menutup matanya. Melihat anaknya yang damai dan seperti enggan membuka mata membuat Tomas sangat takut, takut jika dia harus kehilangan anaknya lagi, takut jika harus kehilangan anak kandungnya.

Bayangan-bayangan buruk menyerang pikirannya kala mengingat Davian sudah hampir 1 bulan belum sadarkan diri selepas operasi. Padahal dokter mengatakan jika keadaan Davian selalu membaik dari hari ke hari.

“Davi, sayang. Ayo buka mata kamu Nak, ayo bangun. Kamu gak kangen sama Ayah?” lirih Tomas. “Sayang, dua minggu lalu teman-teman kamu bilang kalau kamu dinyatakan lulus. Dan bulan depan ada acara kelulusan sama perpisahan di sekolah kamu. Kamu gak mau bangun buat dateng ke sana Nak? Temen-temen kamu nungguin kamu, Ayah juga nunggu kamu.”

Tomas mengusap rambut anaknya dengan lembut. Tidak pernah terpikirkan olehnya jika dia akan berada dalam kondisi seperti ini. Menunggu anaknya membuka mata untuk kembali mendengar suara dan melihat senyuman anaknya.

“Sayang, Ayah minta maaf sama kamu karena gak sadar apapun tentang apa yang udah kamu lewatin. Maafin Ayah karena Ayah bahkan gak tahu alasan kamu milih jadi polisi, maaf karena Ayah gak tahu perjuangan kamu saat kamu gapai mimpi kamu itu,” napas Tomas tercekat karena dia mencoba sekuat tenaga untuk menahan tangisnya.

Tomas tidak ingin jika Davian sadar dan membuka matanya, anaknya itu malah melihat sang Ayah sedang menangis. Tomas tidak ingin Davian melihatnya, Tomas tidak ingin dirinya terlihat lemah dihadapan sang Anak.

Walau sebenarnya Tomas membutuhkan orang yang bisa dia jadikan tempatnya bersandar dalam keadaan saat ini. Tomas juga membutuhkan orang yang bisa jadi tempatnya untuk berkeluh kesah.

Istrinya, atau Ibu dari mendiang Ravian memang selalu berada di rumah. Tapi sikapnya sangat jauh dari yang Tomas kenal.

Devi, sudah bukan lagi istrinya yang dia kenal dulu. Entah apa yang mengubah sifatnya, tapi itu cukup membuat Tomas sadar dengan apa yang dilakukan istrinya pada anak kandungnya selama dia tidak ada di rumah.

Selama dua minggu ini pula, Tomas tidak pernah pulang ke rumah. Dia hanya akan pergi ke kantor dari rumah sakit dan kembali ke rumah sakit untuk menunggu Davian.

Tak berselang lama, pintu kamar rawat Davian tiba-tiba terbuka. Menampilkan Devi, istrinya, yang sudah dua minggu tidak pernah dia lihat. Hanya bertukar kabar lewat telepon membuat Tomas sedikit terkejut dengan wajah istrinya yang tidak terawat seperti dulu. Tidak ada senyum bahagia yang ditampilkan, hanya tatapan tajam yang sedang menatap Tomas.

“Mas, pilih aku apa anak itu?” tanya Devi dengan suara serak.

“Maksud kamu?”

Devi menatap suaminya dengan tajam lalu beralih menatap Davian yang masih terbaring dengan tatapan sinis. "Mas pilih aku atau dia?” tunjuknya pada Davian.

“Pilih apa maksud kamu?”

“Mas kalau pilih aku, tinggalin anak itu dan biarin dia. Tapi kalau mas pilih dia, biar aku ajuin perceraian kita!”

“DEVI!”  Tomas seketika murka, dia menatap Devi tajam. Menghela napas pelan lalu berjalan ke arah sang istri dan menariknya keluar kamar rawat sang anak.

Tomas membawa Devi ke luar rumah sakit, mereka sekarang berdiri sedikit jauh dari pintu rumah sakit. Tempatnya cukup sepi jadi Tomas sedikit lega jika istrinya akan membahas hal yang sensitif.

“Apa maksud yang kamu omongin tadi Devi?” Tanya Tomas.

“Aku gak perlu ulang ucapanku kan mas?” Bukannya menjawab, Devi malah balik bertanya pada sang suami.

Tomas menatap istrinya tak percaya, “kenapa kamu sampai bilang kaya gitu?”

“Karena aku gak suka sama anak itu. Dia udah buat anak aku pergi, dia yang udah bunuh Ravian!” Ucap Devi dengan napas yang terengah karena emosi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DaviRaviTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang