Sesuatu yang Kamu Dengar, Belum Tentu Benar Adanya

133 15 3
                                    

Davian dan semua teman sekelasnya akhirnya benar-benar mendapatkan berita jika Safa memilih untuk keluar dari sekolah. Guru pun tidak memberikan penjelasan lebih lanjut membuat Davian dan ke-empat temannya bingung dengan kelanjutan masalah yang ada.

“Terus masalah uang kas gimana dah?” tanya Satya sambil berbisik pada Davian yang sebangku dengannya. “Gak mungkin kan ngebuat anak kelas terus mikir yang enggak-enggak ke Tiara.”

Davian menggidikkan bahunya. “Gak tau juga. Kita pun gak ada hak buat ngasi--.”

“Bu, maaf saya menyela. Saya izin bertanya, bagaimana dengan masalah uang kas kelas ya Bu?” tanya Ilona membuat Davian menghentikan ucapannya.

“Nyalinya boleh juga ni waketu,” gumam Arseno.

Guru yang kebetulan wali kelas mereka itu hanya bisa tersenyum. “Kita iklaskan saja ya?”

“Gak bisa gitu dong bu. Ini sama aja kita nabung ke bendahara. Kalau uangnya ilang ya harusnya bendahara yang tanggung jawab. Gak bisa main iklasin gitu aja,” ucap Gilang sambil melirik sinis ke arah Tiara.

“Kan, apa kata gue. Anak kelas masih mikir yang enggak-enggak ke Tiara,” bisik Satya.

Azka menghela napas kesal. “Lo ngapain liat Tiara kayak gitu? Lo nuduh dia?” sengit Azka pada Gilang.

“Gue gak ada nuduh. Gue cuma realistis aja, dia kan bendahara, terus uang kas terakhir dan kabar ilang itu pas di dia kan?”

Tiara yang mendengar itu hanya dapat menunduk dalam sambil meremat tangannya. Dia sekuat tenaga menahan tangisnya sekarang.

Sejujurnya, dia sama sekali tidak menyalahkan Gilang ataupun teman kelasnya yang juga berpikiran sama seperti Gilang. Karena pemikiran itu wajar, apalagi memang kabar uang menghilang itu dari dia.

“Lang, lo ada bukti sama pemikiran lo itu apa enggak?” tanya Rangga, ketua kelas.

“Gue--.”

“Sudah, nanti biar ibu yang bantu menutup kekurangannya.”

Ilona mendengus, dia berdiri dan menatap gurunya tajam. “Bu, saya gak bisa diem aja kalau anak kelas terus mikir buruk ke Tiara yang sama sekali gak bersalah. Kalau soal uang, saya juga bisa Bu buat nutupnya. Tapi masalah di sini itu, apa Ibu cuma mikirin mental pelaku? Dan Ibu gak mikirin Tiara yang secara gak langsung jadi korban?”

“Ilona, ini sudah sesuai kesepakatan.”

Bulan mengacungkan tangan lalu berdiri. “Saya setuju sama Ilona Bu. Yang gak bersalah gak pantes dituduh yang enggak-enggak cuma karena dia megang barangnya terakhir kali.”

“Saya juga bu,” Azka ikut berdiri membuat Arseno, Jarga, Satya dan Davian pun kompak untuk berdiri.

Dan seisi kelaspun akhirnya berdiri, kecuali Tiara yang masih setia untuk menunduk. Perempuan itu begitu takut untuk melihat mata teman sekelasnya. Walau dirinya bukan pelaku, tapi melihat pandangan teman sekelasnya terhadap dirinya membuat dia takut bukan main. Tiara benar-benar seperti tertuduh atas apa yang tidak dia perbuat.

“Duduk sekarang! Ini sudah keputusan kepala sekolah!” titah guru mereka.

“Bu, maaf. Tapi keputusan yang dibuat bener-bener gak adil. Gak ada penjelasan apapun termasuk jika iya Tiara gak bersalah,” ucap Denis.

“Kalau Ibu gak jelasin, biar saya yang jelasin,” ucap Ilona yakin.

Arseno mengacungkan tangannya. “Saya juga.”

“Baiklah, tapi Ibu harap hal ini tidak terdengar oleh murid di luar kelas kita.”

---

DaviRaviTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang