Bangkai itu Pasti Akan Tercium

123 17 0
                                    

Davian menghela napas untuk kesekian kalinya, mencoba menghilangkan perasaan mengganjal di hatinya sejak beberapa hari lalu. Tepatnya sejak perubahan sikap Kakaknya, Ravian.

Iya, ini sudah 4 hari semenjak Ravian terlihat seperti menjaga jarak dengannya. Sebenarnya memang menjaga jarak, karena Davian dapat melihat dengan jelas jika Ravian terus menghindarinya selama 4 hari ini.

“Gue ada salah apa sih sama bang Ravi?” gumam Davian.

Membuka pesannya pada Ravian yang hanya dibaca oleh Kakaknya itu. Sebelumnya memang mendapatkan balasan, tetapi hanya balasan singkat saja yang diberikan. Sisanya kadang hanya dibaca saja.

“Apa bang Ravi udah tau pas gue kena pukul terus dibawa ke rumah sakit waktu itu ya makannya sekarang dia marah? Mati dah gue, bego banget lo Dav.”

“WOI DAP!! Ayo kantin,” ajak Satya.

Davian tersentak lalu menatap ke empat temannya yang ternyata sudah berada di depannya sejak tadi. Bahkan dia baru menyadari jika sekarang sudah memasuki jam istirahat.

Astaga, gue ngelamun berapa lama coba?”

“Mikirin apa sih lo? Dari tadi kita panggil diem aja,” ucap Jarga.

Davian menggeleng pelan. “Cuma masalah abang gue.”

“Bang Ravi? Kenapa sama abang lo?” tanya Satya.

“Udah 4 hari ini abang gue kaya ngehindarin gue banget. Bahkan dia udah jadi jarang banget di rumah. Kayaknya abang gue marah deh,” jawab Davian.

Azka mengernyit bingung. “Marah? Kenapa lo mikir gitu? Lo udah nanya dia belum?”

“Belum. Mau nanya juga gimana dia pergi pagi buta, pulang tengah malem. Gue chat juga kebanyakan di baca doang.”

“Terus kenapa lo bisa mikir dia marah?” tanya Arseno.

“Gak tau juga. Cuma gue kepikiran mungkin dia udah tau masalah gue ketonjok dan dibawa ke rumah sakit waktu itu. Mungkin dia marah karena gue gak ngasih tau dia.”

Azka menghela napas pelan, “pikiran lo doang itu. Mungkin abang lo lagi sibuk di kampusnya karena banyak tugas. Mahasiswa aktif juga kan dia? Jadi mungkin dia terlalu sibuk sampe gak sempet bales chat lo atau interaksi sama lo di rumah.”

“Nah, bener tuh kata Azka. Apa lagi jurusan hukum kan dia? Yang gue tau mahasiswa hukum tuh emang sibuk. Apa lagi kalau abang lo ngambil UKM,” tambah Satya.

“Ya udah, sekarang mending kita ke kantin dulu. Nanti gak keburu buat makan lagi,” ajak Jarga lalu pergi mendahului teman-temannya menyisakan Azka yang menatap sendu punggung Davian.

Azka menghela napas pelan, dia sangat merasa bersalah pada Davian karena tidak memberitahu apapun padanya. Tapi dia sendiri tidak bisa memberitahu Davian karena sudah berjanji pada Ravian.

Bagaimanapun juga, memang lebih baik keduanya berbicara secara langsung tanpa perantara di antara mereka.

Tapi di sisi lain, dirinya juga merasa bersalah karena sudah menceritakan sesuatu pada Ravian tanpa sepengetahuan Davian. Tapi jika dia tidak menceritakan yang sebenarnya, Ravian tidak akan mengetahui apapun tentang Davian.

Karena dia tahu, pastinya Davian akan menyembunyikan semuanya. Bahkan mungkin tidak akan memberitahu keluarganya sampai kapanpun.

“Gue jadi serba salah gini, sial,” dengus Azka sambil mengacak rambutnya kesal.

“Lo kenapa Zka? Ketombean?” tanya Saga.

Azka melirik Saga sinis. “Enak aja."

“Ya lagian lo ngacak rambut lo gitu apa maksudnya coba? Oh iya, itu tadi di kantin si Satya sama Jarga bacot banget karena lo gak ada.”

DaviRaviTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang