Ravian gelisah menunggu seseorang, beberapa kali melirik jam ditangannya berusaha menghilangkan rasa cemas yang mengelilinginya sejak dia pergi tadi.
Mengatakan pada orang rumah untuk tidak menunggunya pada makan malam agar Ravian dapat leluasa berbicara dengan orang yang dia telepon sebelum pergi ke sini.
Tentunya orang yang mungkin dapat membuat Ravian mendapatkan jawaban dari segala pertanyaan yang ada di kepalanya.
“Bang Ravian.”
Ravian mendongak menatap orang yang berada di depanya lalu tersenyum kecil. Mempersilahkan dia duduk agar mereka dengan nyaman berbicara.
“Jadi ada apa bang?” tanyanya.
Ravian menghela napas pelan, menyerahkan handphone-nya yang memperlihatkan surat-surat yang sempat dia foto di kamar Davian. “Lo liat dulu. Gue yakin lo bakal ngerti kenapa gue minta kita ketemuan, Azka.”
Azka melirik handphone Ravian lalu menghela napas. Tanpa mengambil handphone itu, Azka sudah mengetahui apa isinya karena judul yang ada di foto itu terpampang jelas. Dan juga Azka sangat tahu apa maksud Ravian mengajak mereka bertemu.
“Tentang Davian ya Bang? Mungkin lebih baik lo tanya Davi nya langsung. Gue gak ada hak ngasih tau ini ke lo,” ucap Azka.
Ravian menggeleng, “gak akan semudah itu Davian jelasin semuanya.”
Benar, Azka sendiri menyetujui semua itu. Karena dia sangat paham kalau Davian benar-benar menyembunyikan impiannya itu dari keluarganya, bahkan dari Ayah kandungnya sendiri. Untuk alasannya sendiri, Azka masih belum mengetahuinya.
“Kalau gitu, apa yang mau lo tau Bang? Gue bakal ngasih tau apa yang gue tau.”
Ravian menghela napas pelan. “Tentang kejadian itu, lo sama temen-temen lo yang lain nahan Davian itu karena ini?”
Azka mengangguk. “Lo tau sendiri kan Bang pelatihan kepolisian gimana? Dan mana mungkin Davi bisa lolos di pelatihan itu dengan kondisinya yang sekarang.”
“Udah dari berapa lama dia pengen jadi polisi?”
Azka menghela napas pelan, kembali mengingat saat di mana Davian yang dengan yakin mengatakan bahwa mimpinya adalah menjadi polisi. Tepat di mana dia melihat korban kejahatan yang tidak mendapatkan keadilan dengan baik karena pelaku yang bebas berkeliaran begitu saja.
“Kelas 10, saat di mana nyokap asli Davi pergi untuk selamanya," Azka menghela napas terlebih dahulu lalu kembali melanjutkan ucapannya.
"Sebelum itu, sebenernya Davi punya mimpi buat jadi penulis sama kaya nyokapnya. Tapi pas pulang sekolah, gue, dia, sama yang lain liat secara langsung di mana nyokap Davi ditabrak dan pelakunya kabur gitu aja—
“—Bokapnya Davi udah berusaha sekuat tenaga supaya pelaku dijatuhin hukuman yang setimpal karena nyokap Davi sampai kehilangan nyawanya. Tapi sayangnya semua gak sesuai sama apa yang mereka harapin. Davian dengan jelas denger sendiri kalau pelaku cuma disuruh bayar ganti rugi rumah sakit.”
“Ganti rugi rumah sakit?” tanya Ravian bingung.
Azka mengangguk. “Iya, karena nyokap Davi sempet di lariin ke rumah sakit tapi sayangnya beberapa hari setelah itu nyawanya gak ketolong.”
“Tapi kenapa bisa? Maksud gue, kenapa bisa cuma disuruh bayar ganti rugi rumah sakit? Itu termasuk pembunuhan kan?”
“Lo berharap apa sama hukum di Negara ini sih Bang? Gue juga gak tau kejadian di baliknya gimana. Tapi yang gue tau, dari hasil yang diputusin itu pelaku bebas karena kelakuan baiknya selama dipenjara.”

KAMU SEDANG MEMBACA
DaviRavi
FanfictionDavian harus rela masa depan yang dia impikan hilang demi menyelamatkan nyawa ibu tirinya. Tapi sayang, ibu tirinya malah menganggapnya sampah. Walau begitu, Davian tidak pernah membenci ibu tirinya. Karena ibu tirinya lah yang sudah melahirkan Ravi...