Bab 6 - Gadis asing

267 44 5
                                    

••


"Aku kira kamu akan lama disini. Kenapa harus malam-malam sekali?" tanya Mr. Vogel sedikit berberat hati, melepas kepulangan mereka yang mendadak. Padahal Mr. Vogel masih ingin berlama-lama menyambut mereka disini, dan mengajak mengobrol Gantari lebih banyak.

Mengencangkan baju hangatnya, Gantari lalu memeluk dengan tulus Mr. Vogel kemudian mengusap lengan kanannya. "Maaf, Meneer. Aku dan Theo tidak bisa berlama-lama disini, semoga lain waktu, aku dan Theo bisa kesini lagi." hiburnya.

"Ja, Oom (Paman), bisnis kita akan selalu terjalin, dan pasti kami kesini lagi."

"Ah, sedih rasanya. Baiklah, aku percaya kalian akan kesini lagi. Rumahku akan selalu menyambut hangat kalian berdua. Sampaikan salam ku pada Herold dan Edwin, jangan sungkan hubungi aku jika di perjalanan kalian mengalami kesulitan, bantuanku akan selalu datang, Theo."

"Aku tau, terimakasih sudah begitu baik. We gaan eerst naar huis, ik stuur je een brief als ik thuis ben. Zorg voor jezelf oom. We zijn weg" (Kami pulang dulu, aku akan mengirimkan surat ketika sudah sampai di rumah. Jagalah dirimu baik-baik paman. Kami berangkat) pamit Theo, Gantari berjalan duluan dan memasuki Kereta kuda dibantu Handoko, yang memegangi tangan Gantari agar tidak jatuh.

Theo mengikuti di belakang, saat sudah masuk semua, Handoko menutup pintu Keretanya, dan dia naik ke kursi kemudi. Mr. Vogel melambaikan tangannya, dibalas Gantari dan Theo dari dalam Kereta. Mereka mulai berjalan meninggalkan pekarangan rumah besar Mr. Vogel, saat sudah agak jauh, Theo menyenderkan badannya, dan mulai memejamkan mata, rasa kantuk sudah tidak bisa ia bendung lagi, begitupun Gantari, mereka sama sama terlarut dalam hening nya malam.

Tubuh keduanya terguncang oleh jalan yang tak rata, tapi tidak membangunkan mereka dari alam mimpi yang begitu indah.

Sepanjang jalan yang mereka lalui, sangat gelap, kiri kanan banyak pohon rindang, dan jauh dari pemukiman warga yang masih sangat sedikit. Itupun tidak ada penerangan yang berarti, warga sekitar yang tak mampu memasang listrik, mereka hanya memakai lampu minyak tanah tempel. Hanya cara itu yang bisa mereka lakukan untuk mengusir keheningan dan kegelapan malam.

Waktu terus berlalu, begitupun perjalanan mereka sebentar lagi sampai. Hari yang gelap sedikit demi sedikit mulai terang, jauh di ufuk timur matahari malu-malu menampakkan sinarnya. Semburat langit pagi, yang begitu indah, di awali dengan kokok ayam jantan, dan juga aktivitas warga yang mulai kembali dimulai.

Handoko bergantian membawa kereta kuda itu dengan Hilman, abdi rumah Theo yang mengantarkan pesan kepada mereka semalam, bahwa Herold dan Edwin, menanti kepulangan sang saudara.

"Sebentar lagi sampai ya?" tanya Handoko, merentangkan tangannya mencoba mengusir pegal di pundak, ia menguap, matanya menatap sekitar dengan liar. Hawa dingin mengusik mereka, Handoko mengusap-usapkan telapak tangannya satu sama lain. "Berapa menit lagi, kira-kira?" tanyanya lagi.

"Sepuluh menit lagi, Handoko. Apa mau berhenti dulu?" lelaki disampingnya menggeleng, Hilman mengerti. Mereka tetap berjalan, sampai tak terasa sudah di depan rumah besar milik Theo lagi, halaman yang sudah rapi dan bersih.

Di depan rumah sudah berdiri dua Meneer tampan, dengan pakaian khas zaman kolonial yang rapi dan terlihat gagah. "ah, itu mereka. Sudah sampai," ujar salah satunya, bermata tajam bermana Helord.

Handoko turun terlebih dahulu, ia membukakan pintu kereta untuk sang tuan. Dengan masih sempoyongan karena mengantuk, Theo merapikan bajunya sedikit, ia tersenyum kala sang kakak sudah menyambutnya dengan rentangan tangan terbuka lebar, kakak beradik itu saling merindukan satu sama lain. "aku rindu padamu adik, sudah beberapa tahun kita tak bertemu" ungkapnya ketika pelukannya semakin erat.

HALO! Tuan NetherlandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang