Bab 14, Meneer!

283 37 5
                                    

••

Handoko membantu membawakan barang-barang yang Kencana bawa ketika ke pasar, barang dagangannya dibeli Gantari semua, lalu wanita itu bagikan ke warga yang ada di pasar. Gadis kecil itu sekarang tengah duduk nyaman di Kereta, sang adik dipangku Gantari, nampak sangat kelelahan dan kehausan, tapi bayi itu sudah tidur sekarang, tak tega melihat kedua anak sekecil mereka harus sudah mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga.

Kencana saling melempar senyum dengan Neda, yang berpakaian rapih dan wangi, mereka berdua sudah Gantari beri makan, minum, tinggal membeli pakaian agar mereka tak memakai pakaian tak layak itu terus.

"Tubuhmu penuh luka, apakah sakit?" tanya Neda khawatir, bibir gadis juga kering, Kencana menggeleng, karena luka-luka di sekujur tubuhnya sudah lumayan mengering, Neda mencoba mengulurkan tangannya, tapi Kencana agak menghindar, ia masih belum terbiasa dengan orang yang baru dikenal.

"Kita ke sekolah Neda dulu ya, Kencana, setelah itu baru pergi ke Toko pakaian."

Gadis itu mengangguk saja sebagai jawaban, air mata Gantari hampir jatuh, bila tak segera ia seka dengan jari-jarinya, betapa bersyukurnya ia sekarang, disaat anak lain harus berjuang mati-matian di zaman yang masih tak aman, ia lahir di zaman yang sudah terang benderang, dengan semua kemudahan, dan orang tua yang mampu menyekolahkannya sampai lulus perguruan tinggi.

"Boleh aku melihat telapak tanganmu?" Kencana dengan malu-malu membuka telapak tangan kirinya, lalu agak diulurkan sedikit ke depan Neda, anak itu tersenyum hangat, menerima uluran, menaruh telapaknya juga di sana.

Sebuah berkas cahaya muncul, sedikit demi sedikit menyapu habis luka-luka tadi, menggantikan dengan kulit yang mulus tanpa noda, bibir yang semula kering, kini begitu merah merekah, Kencana begitu kaget, ia mencoba menarik tautan tangan mereka, tapi Neda mempertahankan hingga cahaya itu menghilang perlahan-lahan.

Barulah Neda melepaskan genggaman, Kencana terperangah tak percaya dengan kejadian barusan, apakah ia mimpi? Atau ini sebuah mukjizat? "Ba-" ucapan gadis itu mengambang, "Bagaimana bisa?" lanjutnya, menelisik setiap jengkal tubuh yang dulu terdapat luka-luka yang lumayan parah.

"Hiduplah dengan nyaman Kencana, masa depanmu akan indah, terimakasih telah berusaha, dan menjadi gadis baik."

"Terimakasih juga, saya tak akan melupakan kebaikan kalian." janjinya pada mereka berdua, dibalas dengan senyuman tulus.

••

"Bekal dan air minum? Jangan lupa dibawa, aku tak ingin kamu kelaparan nanti, jangan dengarkan jika ada yang mengejekmu, ok? Nah, sekarang masuklah, belajar dengan rajin, doa ku menyertaimu." pesan Gantari, berjongkok di depan Neda, anak itu diam mendengarkan, lalu mengangguk mengerti.

Neda mencium tangan Gantari, kemudian menaruh di pipi kanannya, "kamu mirip seperti Ibu-ku, baik, Gantari pesanmu akan aku ingat! Dah! Aku masuk dulu." teman sebayanya melambai pada Neda dari dalam kelas, bocah itu ikut melambai, menghampiri. Gantari bangun agak susah payah, mengingat perutnya sudah agak sedikit buncit, pinggangnya mudah pegal juga, Handoko menunggu di dekat Kereta kuda, lalu lalang para anak-anak Bangsawan khususnya Belanda diantar oleh para Jongos atau orang tua-nya, nampak para Nona dan Meneer itu memakai pakaian khas Eropa, ada juga Noni yang memakai atasan kebaya putih, bawahnya kain jarik, cokelat, tidak lupa pula sandal mahal hanya kalangan borjuis saja yang bisa memilikinya.

Ada yang memandang Gantari dengan tatapan aneh, penasaran, mencemooh atau datar saja, mungkin karena wajah Gantari yang begitu Nusantara, mereka bertanya-tanya, dari kalangan Ningrat mana perempuan yang tengah berdiri di dekat kelas anaknya ini.

Agak sedikit tidak nyaman, ia bergegas.

Baru selangkah berjalan pundaknya ditepuk, saat ia berbalik, seorang Noni berdiri disana dengan senyum tipis, mengulurkan tangannya, memperkenalkan diri, "Hallo, mijn naam Isse, zijn jullie Neda's ouders?" (Halo, namaku Isse, apakah kamu orang tua Neda?)

HALO! Tuan NetherlandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang