Bab 5 - Kunjungan bisnis

264 41 6
                                    


••

Setelah aktivitas intim, yang terlewat--intim, tadi malam bersama sang Meneer, Gantari masih diam di kamar nya tidak ingin beranjak dari kasur. Ia merasa malu, sekaligus shock. Bagaimana bisa, ia begitu menikmati semalam. Dan ketika pagi menjelang, si Meneer sialan itu, bangun dengan rasa tidak bersalah dan mengawali hari nya dengan indah.

Gantari sudah memakai gaun malamnya lagi, tapi ia belum mandi. Para abdi rumah Tuan Vogel lima menit yang lalu mengetuk pintu kamarnya, dan memberitahu bahwa ia ditunggu di ruang makan. Bagaimana bisa Gantari sarapan dengan ekspresi biasa saja, padahal harinya sedang tidak baik-baik saja gara-gara Theo.

"Aih! Sialan emang si Theo, kampret. Awas aja, sampe gue ada apa-apa, gak mau tau, dia harus tanggung jawab." monolog nya kesal, menyibak selimutnya, dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

..

"Lama sekali dia, memangnya mandi dimana sih?!" Sungut Theo, sedari tadi menunggu Gantari selesai dengan aktivitas pagi nya.

Tuan Vogel hanya tersenyum penuh arti, ia menyesap teh hangatnya dan melirik Theo, "tidakkah, rasanya seperti ber-bulan madu, Theo?" ujarnya jahil.

Mereka sudah berada di meja makan, sedang menunggu Gantari keluar dari kamar, dan bergabung dengan mereka. Theo hanya terkekeh pelan, ia sedikit canggung kala mendengar perkataan Tuan Vogel tadi.

"Hahaha.. Aku bukan seorang pengantin baru, Tuan Vogel." kilah nya, ia sedikit gak suka mendengar itu, karena memang tidak ada hubungan yang serius antara ia dan gadis aneh itu. Gantari maksudnya. Kejadian semalam adalah hal biasa, untuk orang-orang di Jaman ini, apalagi mereka berdua sama sama dewasa, saling membutuhkan kan?

Gantari datang dengan gaun indah berwarna putih, khas gadis Belanda di tahun ini. Dengan rambut yang di gerai cantik, sedikit diikat bagian atasnya ke belakang, dan ditambahkan pernak-pernik rambut, Gantari sudah cocok menjadi Noni Belanda. "Ah, datang juga akhirnya. Duduklah Gantari, mari kita sarapan bersama.." ucap Tuan Vogel ramah.

Tak enak hati Gantari mendengar ucapan seramah itu di pagi hari. Ia padahal sudah telat, tapi Tuan Vogel tak mempermasalahkan nya. "Maaf, Tuan. Anda dan Tuan Theo harus menunggu saya dulu"

"Tak apa, Gantari. Theo juga terlihat senang, bukankah begitu, Theo?" objek yang dituju mengangkat kepalanya, memandang Tuan Vogel dengan senyum dipaksakan, "tentu saja, Tuan. Aku senang menunggunya, ia memang suka ditunggu." setelah berkata begitu, Theo memandang tajam Gantari, yang nampak tak perduli.

Tuan Vogel tertawa pelan, ia suka melihat tingkah anak muda yang malu-malu mau seperti ini. Mereka membesarkan ego masing-masing, padahal sebenernya, ada rasa di lubuk hati terdalam para muda-mudi ini.

"Theo, kamu yang pimpin do'a."

..

Langkahnya ia bawa berjalan-jalan mengikuti kemana pun para Meneer ini melangkah. Mereka memasuki kawasan pabrik gula yang sangat luas, dimana banyak orang berlalu-lalang dengan cepat, seperti tidak ingin membuang waktu. Ia banyak di senyumi oleh para Inlanders orang Netherland menyebutnya, atau lebih tepatnya para pribumi, orang-orang Nusantara asli.

Mereka membungkuk hormat ketika rombongan Tuan Vogel lewat, begitupun Gantari, mereka semuanya membungkuk padanya. "Gak perlu.." bisik gadis itu, ketika melihat beberapa orang wanita paruh baya, membungkuk untuk nya.

"Berjalanlah dengan cepat, dan tegap Gantari.." bisik tajam Theo, menarik lengan gadis itu untuk menyamai langkah lebarnya. "Dan berhenti tersenyum balik pada mereka! Mereka hanya budak." lanjutnya dengan sadis.

Gantari diam, hatinya langsung sakit kala mendengar ucapan menyakitkan itu.

"Nah, Theo, Gantari. Inilah pabrik gula ku, yang sudah ada sejak dua puluh tahun lalu. Aku membangunnya dengan keringat ku sendiri, tidak mudah, tapi akhirnya berkembang pesat. Sudah ada ratusan karyawan, ah, sebenarnya aku tak ingat angka pastinya... Berapa ya?" Tuan kaya raya itu berusaha mengingat sudah berapa karyawan yang bekerja di pabrik besarnya ini.

HALO! Tuan NetherlandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang