-2. KEMALA SANG KENTUT BERGERAK

97 20 3
                                    

Setelah nyaris menyerah memangkas naskah EKSAMINASI, saya balik dengan challenge yang sama dari Blackpandora_Club ENFICT BOX

*Angkat tangan yang nggak biasa ngetik teenfict

Sebelumnya, di EKSAMINASI konfliknya terlalu berat buat cerpen. Setelah disembur kritik, saya pikirkan lagi ... ternyata cerita saya ga ada yang konfliknya ringan.

Maka dari itu lahirlah ide ini:
😺: "Mending pake prompt generator."
💀: "Bener juga."

DAN KEMAL!
AKU MASIH BELUM MENYERAH DENGAN NAMAMU (ʘᴗʘ✿) BERSIAPLAH SAYA NISTAKAN LAGI

*astaghfirullah

:.:.:

K E M A L A *.✧

Seingatku, kejadiannya begitu cepat. Darah bersimbah di mana-mana, menggenangi jalanan hingga trotoar jalan yang digenangi air hujan keruh. Udara berdesir kian cepat, makin dingin pula suasana sore kelabu itu. Semuanya mendadak berhenti; waktu, manusia, semesta. Segalanya mematung di tempat; rintik hujan, asap knalpot, lampu jalanan.

Tubuhku menggigil. Epidermisku sudah memberi sinyal bahwa aku harus segera menepi dan menenangkan diriku-dengan lubang besar menganga di perutku. Namun, hingga detik tubuhku membeku, tidak ada yang bergerak dari tempatnya. Setelah itulah, baru segalanya gelap dan bertambah dingin.

Aku terawang-awang tanpa tujuan dalam ketiadaan. Nyawaku tersesat di negeri antah-berantah, sementara ragaku nestapa dikerumuni manusia beserta rinainya. Kakiku tak lagi menepak di tanah yang sama dengan mereka, semuanya terasa begitu ringan seakan aku berubah menjadi kentut bergerak.

Hal itu kurasakan berhari-hari, berbulan-bulan, dan beribu-ribu purnama-menjadi kentut bergerak. Sampai suara yang terdistorsi itu menyapaku. Suara pertama yang kudengar setelah puluhan tahun berkelana seorang diri.

"Kuberi kau dua pilihan."

Getaran bervolume itu menyapa renyah telingaku. Saat itulah kesadaranku kembali terkumpul, bahwa aku tidak seharusnya berada di sini, kalau aku seharusnya menjalani hidup normal setelah ulangan semester, dan fakta bahwa aku sudah mati ditabrak truk waktu itu.

Perlahan kuberanikan membuka suara, meski aku sudah lupa bagaimana caranya. Pita suaraku sudah lama tak digunakan, dan leherku rasanya seperti engsel pintu yang habis pelumasnya. "Tolong, bawa aku pulang," ujarku lirih, nyaris tak bersuara menghadap hampa.

Tak ada sesuatu, bahkan benda sekecil apapun di hadapanku. Semuanya hanya gelap nan dingin yang menemani. Lagi, suara itu seakan menggema di kepalaku. "Pertama," katanya tanpa mendengar ucapan tersendatku barusan, "pulang padaku, seperti yang kau mau." Oh, rupanya dia mendengarku. "Kedua, menjadi Kemala dan kembali ke tanah untuk kali kedua."

Aku tidak mau ikut orang yang tak kukenal. "Kalau aku memilih pilihan kedua, menjadi Kemala, apa itu artinya kau membebaskanku?"

Suara itu tak lagi menjawab, dia bergeming seperti seribu purnama terakhir, dan aku tidak mau menjadi kentut berjalan untuk waktu yang lebih lama. Maka, aku memutuskan.

"Aku ingin kembali," lirihku menyerah dengan hening, "meskipun berarti menjadi Kemala."

Setelah mengucapnya, barulah aku tersadar. Sejak tadi aku bicara dengan Tuhan.

KEMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang