2. KEMALA SANG KENTUT BERGERAK

32 14 4
                                    

K E M A L A *.✧

Setelah hari itu, aku dibiarkan tidur di kamarnya tanpa seorang pun tahu. Semua karena tidak ada yang bisa melihatku. Aku transparan, aku hanya arwah yang bisa dilihat Kemal seorang.

Satu kali, Kemal pernah hendak mencoba melemparku keluar jendela. Namun, usahanya sia-sia saat tangannya menembus pergelangan kakiku. Dengan kata lain, aku benar-benar transparan, kami tidak bisa saling menyentuh-aku sungguh bersyukur saat baju yang kukenakan ikut transparan dan tidak membiarkanku telanjang.

Ada banyak hal yang langsung kuketahui tentang Kemal dalam waktu singkat; bahwa dia tinggal sebatang kara, orang tuanya meninggal sejak Kemal SMP, dan secara psikologi, Kemal lebih tua setahun dariku. Anak itu menduduki bangku kelas 12 di sebuah SMK, tinggal di kost dengan pemilik baik hati seperti ibu sendiri. Dia harus menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja paruh waktu. Satu lagi, Kemal punya rutinitas wajib setiap Jumat sore; main ke sungai dalam rangka menenangkan pikirannya, itulah saat kami bertemu.

Kalau ada sesuatu yang bisa kubantu untuknya, pasti dengan cara memberinya uang segudang. Namun, jangankan memberi uang, memegangnya saja aku tak mampu. Apa yang bisa kulakukan?

Maka, aku mulai membentuk rutinitasku; membuntuti Kemal ke mana-mana. Sekolah, kerja, tidur, dan mengulangi rutinitasnya lagi setiap hari.

"Kenapa kamu nggak coba ngelamar kerja di perusahaan yang lebih besar?" usulku si satu siang yang panas luar biasa. Kemal sedang meletakkan kepalanya di antara lipatan tangannya di meja kelas yang ramai huru-hara anak-anak remaja SMK brutal.

Dia mendesah lelah setelah seharian belajar mata kejuruan untuk persiapan magang lagi. "Seandainya bisa, aku mau langsung jadi hacker dan jadi kaya secara instan. Tapi mana bisa segampang itu." Kepalanya tengelam lagi dalam lipatan tangan. "Tapi nanti aku bakal nyoba pilih perusahaan yang lebih menjanjikan. Makasih sarannya."

Aku tahu betul bagaimana susahnya mencari pekerjaan. Yah, orang tuaku bunuh diri karena tidak mendapat pekerjaan. Kalau Kemal masih bisa hidup sampai sekarang, tanpa orang tua yang bertahan di sisinya, anak ini jelas hebat sekali.

Itu bukan pertama kalinya aku memberinya usulan. Sudah puluhan kali aku membantunya di mana-mana, dan Tuhan ternyata belum menerimanya sebagai balasan hukumanku kembali ke dunia. Semua itu belum cukup.

Satu hari, aku pernah mengikutinya ke tempatnya magang. Sekilas, kerjanya hanya duduk di depan monitor sambil mengetuk-ngetuk keyboard dengan rumus tertentu. Namun, sungguh aku dapat merasakan kerja kerasnya di malam hari saat membaca buku coding program yang tidak tipis seperti novel remaja. Salah sedikit saja, Kenal harus meneliti semuanya dari awal.

"Kalo kamu hidup lagi, kamu mau jadi apa?" tanyanya di sela jam istirahat.

"Kenapa harus kupikirin? Abis ini juga mati lagi," jawabku tak tertarik.

Kemal berdecak. "Pernyataanmu sama kayak, kenapa harus makan kalo nanti laper lagi? Jawab aja pertanyaanku, Kemala!" Kami setuju menamai diriku sebagai Kemala-sedikit ironis mengingat namaku adalah versi lebih lengkap dari namanya.

"Jadi novelis," lirihku, berjalan-jalan menembus barang-barang kantor yang rawan rusak dengan sengaja. "Aku mau buat cerita yang tenar, dan nggak pasaran. Kenapa?"

Hening merayapi kami sejenak sebelum Kemal menanggapi. "Bagus. Mending kamu idup lagi."

Aku menggeleng, melompat di atas CPU dan bertengger di sana. "Nggak, terima kasih. Aku udah capek."

Saat itu, mungkin aku mengatakannya demikian. Namun, dalam kepalaku aku sedang menimbang-nimbang perkataannya barusan. Semakin lama aku berada di dekatnya, rasanya ... hasrat hidupku kembali lagi. Aku rindu rasanya berjuang untuk hidup di tengah pekiknya dunia.

Cepat kuusir angan itu. Aku hanya perlu membantunya.

KEMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang