EXPERIMENT K3M4-LA

21 7 0
                                    

K E M A L A *.✧

Projek Blackpandora_Club collab dengan IllegalCreature41

Ini mungkin pertama kalinya, sejak sekian lama aku melihat matahari lagi. Begitu bangun, sekelilingku sudah porak-poranda dan ingar-bingar. Tubuhku masih tersungkur di lantai saat yang lain berlarian ke arah yang sama, dan sebelum terinjak-injak, aku memilih mengikuti ke mana arus membawa kami: pintu keluar.

Kepalaku—jika aku memang benar memilikinya—masih tidak bisa memproses apa yang sebenarnya terjadi. Di mana ini, aku siapa?

Kerumunan massa membawaku keluar dari gedung tempatku tersadar di atas tumpukan cangkang. Cahaya dari atas jauh lebih terang, dan sejauh yang kuingat, benda itu namanya matahari. Perlahan, satu persatu ingatan bermunculan dalam benakku.

Pacar. Iya! Aku punya pacar! Tepat sebelum semuanya hilang, dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Kurasa itu ingatan terakhir yang bisa kuingat.

Dentuman terdengar dari belakang punggung kami. Beberapa menoleh, termasuk aku, hanya untuk melihat apa yang terjadi di belakang sana. Seonggok tubuh berdaging lebih—aku tidak tahu harus menyebutnya apa—mengaum di tengah reruntuhan gedung yang baru saja kami tinggalkan.

Dia mengeram, berseru dengan bahasa yang tidak mampu kupahami. Beberapa detik kemudian, makhluk sejenisnya mulai mengejar kami.

Kupaksa kakiku berlari lebih cepat lagi. Satu yang kutahu, kalau kau dikejar, itu berarti tertangkap adalah sesuatu yang berbahaya. Tidak bisa terus seperti ini, aku harus sembunyi!

Gedung-gedung kelabu di sisi kanan dan kiri kami bergetar beberapa saat, menjatuhkan debu-debu sementara jeritan mulai terdengar histeris di belakang sana. Dadaku berdebar kencang, perasaan tidak nyaman melingkupiku. Aku harus keluar dari tempat ini dan mencarinya!

:.:.:

Begitu keluar dari gerbang yang lebih tinggi, tidak ada lagi pepohonan hijau dalam ingatanku. Beberapa kali aku meragukan memori di kepalaku, hingga kemudian kusadari bahwa tempat ini bukanlah bumi yang dulu. Bentang alamnya nyaris sama, tetapi beberapa tempat seperti hamparan rumput yang luas sudah berubah menjadi gedung-gedung aneh.

Tidak ada lagi tempatku dan Kemal berlarian menembus lebatnya ilalang dan bunga dandelion ... benar juga, dia pasti ada di sana! Mengingatnya membuatku berdebar-debar, apakah dia juga mencariku? Bagaimana keadaannya saat ini? Apakah dia juga dikejar-kejar makhluk mengerikan seperti tadi?

Terus kupaksa diriku untuk bergerak. Meski sudah jauh dari lokasi sebelumnya, mereka bisa saja mengejarku sampai ujung dunia. Samar-samar, kepalaku mampu memproyeksikan sekelebat masa laluku. Sosok lelaki yang memelukku erat, mengalungkan jaketnya di pundakku saat angin dingin tiba. Tak terasa bibirku menyungging senyum. Aku merindukan semua tentang dia.

Aku tak ingin terlalu berharap dengan anganku. Kemal mungkin saja lupa denganku, tetapi semua itu jauh lebih baik dari pada dia tak menemuiku sama sekali. Bagaimana rupanya setelah dunia ini berubah, aku tak yakin, tetapi dia pasti akan menemukanku satu hari. Maka sampai saat itu tiba, aku juga takkan pernah menyerah mencarinya.

Kota ini dulu tempat tinggalku. Beberapa penggalan memori lama menuntunku ke arah tebing tempat kami pertama kali bertemu. Saat itu kami masih 17, mungkin, aku sedikit melupakannya. Di bawah hujan meteor waktu itu, aku masih bisa mengingatnya dengan jelas senyumnya yang menawan. Caranya menatapku dengan mata yang sayu nan tegas di saat yang bersamaan. Astaga aku benar-benar harus segera bertemu dengannya sebelum mati ditelan rindu!

Tak mudah menemukan tempat itu dalam kondisi seperti ini. Aku harus ekstra berhati-hati, menyelinap sana-sini kalau tidak mau ditangkap lagi. Sementara hari mulai gelap, dan aku mulai keluar dari lokasi gedung-gedung tinggi tadi.

Lapangan luas menyambutku saat bulan bertahta di angkasa. Di bawah cahaya temaram, tak kutemukan hijau rumput sejauh mata memandang. Harusnya tempat itu tak jauh dari sini. Semuanya berubah menjadi padang pasir nan kering berdebu. Suasananya persis sekali seperti pertama kali kami bertemu. Di bawah cahaya bulan dan sebuah pohon berukuran besar, beralaskan rerumputan berembun.

Dari kejauhan, bisa kulihat ujung daratan ini. Patahan yang indah, seolah aku berjalan menuju bulan. Tepat di ujungnya, sebuah dahan kering nan kurus berdiri di sana. Ah, pasti tempat itu!

Keberadaannya seakan menjadi harapanku untuk bertemu dengan Kemal. Kuhampiri dahan itu tergopoh-gopoh menyeret langkah. Benar, ini tempat yang sama seperti saat itu, aku masih hafal persis. Bibirku tak bisa berhenti tersenyum sejak melihatnya. Penampakannya, juga apa yang ada di dasar jurang—

Sensasi perih nan dingin menusukku dari belakang secara tiba-tiba. Dadaku terasa sesak, dan saat kumuntahkan sesuatu yang mengganjal di sana, noda merah tampak jelas di bawah redupnya sinar bulan. Kepalaku menunduk, melihat tubuhku secara sekilas dan menemukan bilah tajam pada bagian tengahnya.

Begitu bilah itu dicabut, tubuhku tersentak pelan sebelum tersungkur di tanah kering. Napasku menderu kencang, separuh karena terlalu kaget dengan semua ini, separuhnya lagi mulai kesulitan bernapas. Kupegangi bagian perutku yang terasa perih, lebih tepatnya, karena sebuah lubang menganga di sana. Cairan hangat perlahan menggenang, menguburku serta dengan rasa sakit.

Sebuah bayangan berjalan dalam sunyi memutariku. Sejak kapan dia berada di sini? Kuberanikan diri untuk mendongak, menatap siluetnya yang tak asing. "Kemala?!" Sosok itu berseru lekas berlutut.

Wajahnya tampak jelas, meski sedikit berubah, aku mengenal tatapan itu. Bilah yang digunakannya menusukku berpendar dalam gelap. Memantulkan cahaya bulan yang nyaris kurutuki.

Tanpa sadar, kekehan keluar dari bibirku. Perasaan apa ini? Setelah begitu panjang jalan yang kutempuh, hanya untuk dia, dan sekarang lihatlah. Rasa sakit di perutku bahkan tidak seberapa dengan perasan ini. Kemal bersimpuh di depanku, terpaut beberapa senti dari genangan darah yang mulai menyebar. Tangannya perlahan mengusap wajahku lembut.

Aku merasa dikhianati.

Kulihat bibirnya mengucap sesuatu, kemudian merengkuh tubuhku dalam dekapannya. Hangat rinainya menyapa kulitku. Namun, pendengaran ini tak mampu lagi menangkap suaranya. Astaga padahal aku ingin sekali mendengarnya. Aku rindu, ingin balas memeluknya erat-erat, kemudian segalanya seakan runtuh bagiku, sebelum kegelapan menelanku bulat-bulat.

Hei, ke mana bulan yang sejak tadi menemani? Ke mana semua cahaya temaram itu pergi? Untuk pertama dan terakhir kalinya, aku tak lagi penasaran dengan apa yang ada di dasar jurang itu.

[]

KEMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang