KEMALA AKHIRNYA DIPUNGUT

19 8 0
                                    

EDISI BUKAN PROMPT

Karena aku akan terus hidup sampai mereka bilang pahalaku cukup banyak buat membeli rumah tetap di alam lain, yang pertama harus kulakukan adalah mencari rumah di dunia yang fana ini untuk bertahan hidup.


Kami melanting kembali sebagai sepasang anak remaja di tengah hutan, tersesat dan terlantar sampai sepasang kakek nenek menemukan kami di pinggiran kota. Basah kuyup, kedinginan, bau comberan, kotor, jorok, dan yang paling parah, kelaparan. Mereka membawa kami dengan pickup bekas sayur-sayur yang mereka panen untuk dijual. Sepanjang perjalanan kami terlonjak-lonjak bersama kubis dan kentang, mandi guyuran air hujan sementara malam nyaris melahap habis sinarnya mentari.

Kupikir, kami akan berakhir di tempat perdagangan manusia ilegal, dijual ginjalnya, atau dicongkel bola matanya untuk dijadikan cinderamata. Nyatanya pickup tak berhenti di sebuah rumah, apartemen, atau desa. Mobil terus melaju membelah hutan, semakin gelap nan dalam, saat-saat cahaya matahari terakhir tertutupi rimbunnya pepohonan. Dingin sekali lagi menyergapi tubuhku, kali ini lebih parah. Sementara Kemal sudah mendepis di satu sudut pickup, memeluk sekeranjang kentang busuk yang tak laku dijual.

Aku tak mampu melihat apa yang ada di depan. Pertama, sebab takut jika berdiri akan membuatku terpelanting keluar dari bak. Kedua, karena aku terlalu kedinginan untuk sekadar melongokkan kepala ke satu sisi pickup. Jadi aku hanya bersandar pada bagian belakang kepala mobil, melihat pepohonan dan sebuah gerbang megah bergerak menjauh dariku.

Secuil ginjal sebesar kacang merah di tubuhku bergetar hebat. Rumah mana yang ada di tengah hutan? Apa mereka sungguhan akan menjualku setelah dipreteli?!

Nyatanya tidak seburuk yang kupikirkan. Kakek dan nenek itu turun dengan payungnya, memapah kami untuk turun dan memasuki halaman utama yang memiliki atap. Sekilas kubaca papan putih yang menggantung di dinding bangunan krem itu. Ini panti asuhan.

Kuembuskan napasku lega, Kemal mendempetku takut hilang lagi. Kami sama-sama tidak mengucap kata sejak melanting kembali. Panti asuhan tidak sebaik yang ada di pikiranku, tetapi masih jauh lebih baik ketimbang dipreteli organnya.

Dalam panti asuhan itu, hanya ada sedikit manusia—mereka lebih punya banyak hewan dan tumbuhan. Ada satu orang lelaki yang tampaknya lebih tua beberapa tahun dari kami, berwibawa dan dewasa, murah senyum saat menyambut kami. "Kami masih punya satu kamar lagi, kalian bisa tinggal di sana." Mungkin mereka menganggap aku dan Kemal saudara kembar, lantas menjadikan laki-laki dan perempuan satu kamar. Aku, sih, tidak masalah. Kemal hanya mengernyitkan dahinya kemudian mengangguk.

Tiga orang seumuran kami mendekat, membawakan handuk dan beberapa pakaiannya. Dua orang perempuan di antaranya tampak mirip, kecuali kepribadiannya. Yang tahi lalatnya di jidat seakan tak memiliki ekspresi, datar seperti triplek. Satunya lagi yang tahi lalatnya di ujung bibir tidak bisa berhenti nyengir.

Sisanya aku terlalu lelah untuk menghitung. Anak-anak kecil itu mungkin ada lima atau tujuh, atau mataku yang berkunang-kunang dan membuat bayangan semu mereka berlipat ganda. Nenek tadi membawakan kami dua mangkuk sop hangat di meja makan, menyuruh semuanya agar kembali seperti biasa. Si kakek datang beberapa saat sebelum isi mangkukku habis dan bertanya dari mana asal kami.

Setelah cukup percaya mereka tidak akan menjual ginjal kami, aku mulai membuka mulut. Bahwa kami mati dan hidup lagi, tersesat di tengah hutan, mengikuti insting menuju kota, dan dipungut sepasang suami-istri yang sudah lanjut usia. Kemal mengangguk sambil mengeratkan handuk di tubuhnya sebagai pembenaran.

"Kalau kakek dan nenek tidak bersedia, kami akan pergi," katanya, "barang kali sudah terlalu banyak anak di sini."

Di luar dugaan, mereka dengan senang hati memungut kami. Si nenek kemudian bercerita bahwa dirinya tidak bisa memiliki anak, dan kami semua sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.

Entah dari mana, kulihat semangat dalam bola mata Kemal terbakar. "Kami bakal berusaha buat berguna."

Pasangan tua itu tersenyum. "Panggil kami Kakek dan Nenek Po."

Dan begitulah bagaimana caranya aku terbangun di lantai kamar kami setelah bermimpi jatuh dari kapal. Perlu setidaknya seminggu untukku menghafalkan nama anak-anak di sini beserta hewan dan tumbuhan. Cuma ada sebelas anak termasuk kami di sini. Yang paling tua akan menginap di cafe setiap Senin sampai Jumat, sementara sisanya membantu berkebun, berternak, dan sekolah di sekolah formal.

Aku menolak kala ditawari sekolah lagi. "Kemala sudah lulus SMA." Kemal juga menjawab hal serupa, dia bahkan menawarkan diri untuk bekerja di cafe seperti si sulung.

Nenek dan Kakek Po setuju, mengingat mereka kekurangan karyawan dan sangat memerlukan sentuhan anak perempuan di cafenya, aku jelas diseret tanpa basa-basi. Sejak awal tiba di sini, aku tak pernah keluar panti kecuali saat menyirami tanaman di halaman. Rumah besar ini berada di pinggir hutan, memiliki kebun dan kandang di bagian belakangnya. Baru saat kami akan pergi ke kota, aku duduk dengan waras di mobil sedan abu-abu milik Kakek Po.

Hanya perlu lima menit—yang terasa lama sekali waktu itu—melintasi hutan dan sampai di tepi jalan protokol. Aku sama sekali tidak mengenali kota ini, lingkungan, bahkan toko yang ikonik di kepalaku saja tidak ada. Aku benar-benar jauh dari rumah.

Cafe milik Kakek Nenek Po memiliki dua lantai, yang mana lantai atas boleh kami gunakan untuk singgah dari Senin hingga Jumat. Sepanjang perjalanan, Jibril menjelaskan apa saja yang akan kami lakukan di cafe. Dia juga baru saja bekerja di sana beberapa waktu lalu setelah dipecat dari pekerjaan lamanya.

Kuucapkan banyak-banyak terima kasih pada pasangan tua Po sebelum mereka pergi. Jibril menjelaskan padaku bagaimana cara menjalankan mesin kasir, bagaimana melayani pelayan, dan memastikan pesanan tidak tertukar. Sementara Kemal menjadi asisten barista di belakangku, belajar macam-macam jenis kopi dan cara mengolahnya.

"Cafe ini nggak terlalu rame, jadi jangan terlalu kaku, oke?" Jibril mengacungkan jempolnya, mengambil apron cokelat untuk kami. "Pakai ini waktu kerja nanti. Nah, masih ada setengah jam sebelum cafe buka, ayo ke atas. Kita susun barang-barang kalian di sana."

Kemal membuntut lebih dulu, aku menyusul mereka beberapa anak tangga tertinggal. Tidak seperti bayanganku, lantai dua hanya memiliki satu lorong lurus yang panjang. Kamar-kamar ada di sepanjang dua sisi, dan tepat di ujung lorong ada ruangan besar—semacam ruang keluarga mungkin. Sangat minimalis dan rapi, hampir tak bisa kupercayai yang mengelola tempat ini adalah laki-laki.

Kami membuka pintu satu persatu, mereview isinya. Yang paling dekat dengan tangga akan menjadi kamarku, masih kosong melompong kecuali nakas cantik di satu sudutnya. Tepat di sebelah kamarku, adalah kamar Kemal, penampilannya tak jauh berbeda. Di sisi dinding lainnya adalah kamar Jibril yang bersebelahan dengan kamar mandi dan dapur. Cukup minimalis dan rapi, tidak ada benda berserakan atau pisau tercecer di mana-mana. Tidak ada bau khas lelaki yang menyengat dan semacamnya—hanya parfum dan pomadenya yang samar-samar menggelitik hidungku.

"Kalau hari ini masih takut buat kerja, nonton dulu nggak papa. Pura-pura aja jadi pelanggan, duduk di kursi customer sambil perhatiin gimana caranya kerja." Jibril mengambil langkah pertama untuk turun lebih dulu.

Kami membuntut lagi, meresmikan Jibril menjadi induk dari dua anak ayam tersesat.

K E M A L A *.✧

KEMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang