3. KEMALA SANG KENTUT BERGERAK

24 13 0
                                    

K E M A L A *.✧

Kemal dipecat. Seisi kamarnya dipenuhi umpatan presensi binatang dari segala penjuru dunia. Dari anjing sampai zebra, semua meloncat.

Yang kuherankan di sini adalah ...

"Ini semua salahmu!" hardiknya menudingku tepat di wajah, padahal Kemal sedang menenggelamkan wajahnya dalam bantal. "Seandainya kamu ...." Kemal tak melanjutkan kalimatnya, dia memilih meraung dan melepaskan amarahnya pada bantal.

Ibu kost di bawah mengetuk pintu pelan. Suaranya lirih nan halus, "Kemal? Kenapa, nak?" tanyanya. Suara daun pintu yang gagal diputar merasuki telingaku berkali-kali hingga muak.

Aku hanya bisa diam, meringkuk di sudut kamarnya sambil merenungi apa yang sudah kulakukan. Debu-debu mulai menghinggapiku, dan sinar mentari mulai lenyap dari balik korden kamarnya.

Tak lama, Kemal mengangkat kepalanya. "Kemala," panggilnya pelan. Kasur yang disinggahinya berderit pelan, pertanda dia berganti posisi.

Jantungku masih tidak aman untuk diajak bicara. Bisa-bisa aku yang menangis kalau mendongak sedikit saja. Kepalaku masih dipenuhi jutaan pertanyaan. Di mana salahku? Aku tidak pernah menyentuh pekerjaannya. Aku juga tidak pernah mendoktrinnya untuk melakukan hal yang salah. Di mana salahku?

Seakan mampu membaca pikiranku, Kemal berderap turun dan duduk di depanku. "Aku minta maaf, ini semua salahku sendiri. Aku yang nggak bisa fokus pas kerja. Ini nggak ada hubungannya sama kamu."

Ucapannya tak cukup membuatku percaya. Aku butuh pembuktian lebih.

"Aku ... aku butuh saran," lirihnya.

Kepalaku mendongak sedikit, menatap matanya yang sembab. Raut wajahnya tidak pernah seperti ini sebelumnya. Belakangan Kemal memang lelah dengan dunia. Aku sudah menawarkannya bantuan berkali-kali, tetapi dia terus saja menolaknya. Aku tidak mengerti. "Cerita aja," kataku tak kalah lirih, masih takut dan menyembunyikan separuh wajahku.

Bahunya melorot lelah, ikut bersandar pada dinding sebelahku. "Kalo kamu punya satu kesempatan buat ngelakuin apa yang kamu mau, satu kali kesempatan seumur hidup, kamu mau ngapain?"

"Aku mau hidup bahagia dunia akhirat. Aku mau keluarga yang utuh, aku mau surga Tuhan," jawabku. "Tapi itu dua permintaan yang berbeda. Jadi, maaf, Mal. Aku juga kesulitan memilih salah satunya."

"Maka dari itu," ujarnya semakin lirih. Kepalanya mendongak menatap langit-langit kamar yang gelap sebelum lampu dinyalakan, sementara di luar sana hujan turun mengguyur jalanan. "Tolong jangan desak aku untuk lekas membuat keputusan."

Kenapa? Bukannya akan lebih mudah jika dia memintanya sejak awal?

"Seandainya aku cepat membuat keputusan, itu artinya kamu makin cepat hilang, dan aku nggak mau kamu pergi. Tidak bisakah kamu membacanya? Aku nggak mau kamu cepet pergi."

Sebenarnya, ada satu cara.

"Kalo gitu, apa boleh aku milih bareng kamu selamanya?"

Rupanya, Tuhan mengizinkan.

KEMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang