KEMALA DAN MULUT KODOK

25 9 2
                                    

K E M A L A *.✧

Minggu kedua bekerja di cafe pasangan Po, aku akhirnya memberanikan diri menjaga kasir, menaikkan pangkat dari tukang cuci piring. Sementara dua manusia dari mars itu mengadu nasib di depan mesin beruap panas, aku mulai tertarik mengadu nasibku di depan origami mirip mulut kodok. Tidak hanya aku, beberapa pelanggan yang bingung hendak memesan menu apa juga melakukan hal yang sama denganku—mengundi nasib di atas sebuah kertas.

Berkat aspirasi gacha itu pula, cafe semakin ramai. Beberapa bahkan mengabdikan diri untuk menjadi pelanggan tetap, sering berkunjung dan bertukar cakap denganku sejenak kemudian menyesap kopinya. Salah satu pelanggan itu bernama Lian, Julianto. Dari yang kuketahui, anak itu mahasiswa baru yang kampusnya tak jauh dari cafe kami.

Kemal—salah satu manusia dari mars—berkali-kali memperingatiku soal lelaki itu. Katanya, "Kau ini tolol atau bagaimana? Dia jelas tipe buaya hidung belang. Semua orang juga tau Anto' satu itu menaruh namamu di buku bersampul hitam bertajuk target selanjutnya." Tangannya tak lepas menggenggam biji kopi, memasukannya dalam mesin setengah sebal, lantas monster besi itu mengeluarkan uap beraroma khas.

Dari depan meja kasir, Jibril—manusia dari mars lainnya—juga datang dengan nampan cokelat dalam dekapannya. "Aku setuju," suaranya memelan, "dari caranya bicara juga sudah ketahuan. Bersikaplah sedikit jutek padanya," saran Jibril, melenggang sedetik kemudian sebelum menghalangi pelanggan kami.

Kata-kata teman seperjuangan ku itu mampu membuatku berpikir ratusan kali, membuka tutup kertas origami yang kubentuk seperti mulut kodok berulang kali dengan mata tertutup, kemudian menentukan jalan selanjutnya yang harus kulakukan. Hasilnya selalu sama: jangan. Dengan begitu, sudah kuputuskan untuk tidak mengikuti kata-kata mereka dan lebih percaya pada kertas origami andalanku. Benda itu selalu membawa keberuntungan buatku—contohnya pilihanku menjadi kasir di cafe ini.

Meski sudah dilarang beberapa kali, masalahnya aku dan Lian sudah terlanjur dekat—tidak cuma dengan dia, sih. Kalau cafe sedang sepi, biasanya aku akan menemani anak itu mengerjakan tugas kuliahnya—begini-begini aku masih pintar. Dia punya selera humor yang baik, pandai bercakap manis, dan rambutnya lebih keren dari Kemal.

"Kalo mau bikin proposal, strukturnya nggak harus persis kayak di contoh," kataku sambil menggeser kursor laptopnya, menampilkan laman contoh proposal kegiatan yang mengajukan kerjasama. "Di contoh kan proposal kegiatan buat minta dana ke komite sekolah, punyamu minta dukungan dari komunitas lain, berarti harus ada benefitnya buat komunitas itu. Mau nyoba gacha buat nentuin komunitasnya?" Kusodorkan kertas origami itu dengan wajah tak berdosa.

Lian mengangguk, mengutak-atik kertas dariku lalu kembali ke tampilan Microsoft dan mengganti beberapa hal di sana. Wajahnya tampak tertekuk, serius menggarap apa yang ada di depannya. Alis tebal itu sesekali tertekuk, ditarik ke tengah-tengah wajahnya, lantas mengembuskan napas panjang.

Cafe sedang sepi, ini masih pagi dan semua orang bekerja juga belajar. "Aku ngambil kelas malam," katanya satu hari saat kutanya.

Dari tempatku duduk, bisa kurasakan dua pasang mata memandangku tidak senang. Jadi kuputuskan untuk berdiri dan meninggalkannya sejenak. "Bentar, ya. Aku lupa ada yang harus kuurus di belakang," pamitku lantas melenggang ke belakang meja kasir.

Tanganku berpura-pura mengutak-atik sesuatu di bawah meja, kemudian menunduk beberapa detik kemudian untuk menghindari Liam yang curiga. Di sana, Jibril berjongkok memasang tampang garang, sementara Kemal bersedekap tak senang. Kunaikkan sebelah alisku, tanda tak paham apa yang sebenarnya hendak mereka ucapkan.

"Aku tahu melayani pembeli adalah sebuah kewajiban di sini, tetapi membantunya mengerjakan tugas itu bukan tanggungjawabmu," Jibril berkata tegas, berusaha menggeser kardus besar tempatku menyimpan lusinan cup minuman.

"Lantas?" jawabku tak mau kalah, menurunkan suara. "Dia temanku, Bril. Dia bukan pelanggan biasa—"

Kemal mendesis geram, "Dia memanfaatkanmu!"

"Dan aku memanfaatkan dompetnya yang tebal agar selalu memberikan isinya ke cafe ini!"

"Permisi? Kemala?"

Kami menoleh serentak ke atas, tepatnya di luar meja kasir. Aku lekas-lekas menyuruh dua manusia itu tetap di bawah dan tetap tenang sementara diriku akan melayani Liam di atas.

Dengan tangan menggenggam selusin cup minuman yang asal kucomot, aku berdiri dan menghadapnya. "Ya? Mau pesan lagi atau bagaimana?" tanyaku ramah, memasang senyum semanis mungkin. Kusambar kertas origami yang berisi beberapa menu andalan cafe ini menggunakan tangan yang lain. "Mau nge-gacha kayak biasa atau udah ada yang mau dipesan?"

Sialnya, semua itu justru membawa petaka buatku. Hari yang tak pernah kusangka akan datang, ternyata menghampiriku lebih cepat. Lian meninggalkan laptopnya di ujung ruangan, menatapku serius dengan tatapan tajam. "Nggak, Mala. Aku mau tanya sesuatu."

"Apa itu?" Kusambar kertas origami yang lain, yang isinya mungkin jawaban singkat seputar pertanyaan para pelanggan.

"Terus terang aja, aku dah lama naksir dirimu," Lian membuang wajah ke samping, tampak gugup sambil mengelus tengkuknya, "gimana kalo kita nge-date? Berdua?" Takut-takut matanya menatapku. "Di cafe lain?"

Sekujur tubuhku mematung beberapa saat. Hah? Itu yang mau dia tanyakan? "Sebentar," ujarku pada akhirnya. Kuraih kertas origami mulut kodok yang lain lagi, membuka-tutup dua belah mulutnya dengan cepat sambil menyanyikan Bang-Bang Tut. Lagu berakhir saat jemariku menyentuh salah satu lipatan tertutup di sana. Perlahan kubuka, dan isinya bisa dibilang menyelamatkan hidupku. "Nggak," jawabku singkat, mendongak dan menatapnya yang nyaris melongo.

"Apa?" Suaranya tercekat di ujung tenggorokan. "Kau menentukan itu dengan gacha?!" Lian menggebrak meja tak terima.

Berkat suara yang dijadikannya, beberapa pasang mata pelanggan lain ikut menoleh ke arah kami. Jantungku langsung berdebar kencang. Jangan sampai hal ini mengusik pengunjung lain!

"Eh, tenang dulu. Jangan teriak-teriak." Kunyanyikan lagi lagu Bang-Bang Tut itu dalam hati sambil membuka-tutup origami mulut kodok. Jawabannya tetap sama.

Tidak.

"Maaf, Lian. Aku nggak bisa." Selain karena gacha mulut kodok itu, aku belum siap menyambangi hubungan seperti itu. "Kau bisa lihat sendiri, kertasnya bilang begitu—"

"Itu cuma kertas, bodoh!" Amarahnya memuncak, wajah Lian merah padam tak terima ditolak oleh sebuah kertas. "Kita udah lama bareng, Mala. Aku sering ke sini, cuma buat ketemu dirimu!" Suaranya melunak, memohon kesempatan kedua dariku.

Kuulangi lagi gerakan di kertas itu. Namun, seberapa banyaknya aku mengulang hasilnya akan tetap sama: tidak. "Maaf, Lian. Kertas berkata demikian—"

"Itu cuma kertas bodoh, Mala! Harus berapa kali kukatakan padamu?!" bentaknya meninggikan suara.

Kali ini keningku mengernyit. Hatiku sedikit tertusuk dikatai demikian. "Aku juga nggak mau diajak berhubungan dengan orang yang bahkan tidak menghargai diriku." Kuletakkan semua benda di tanganku, bersedekap menghadapnya. Jibril dan Kemal benar, orang ini tidak sebaik kelihatannya. "Sekarang silakan pergi, sebelum pelanggan saya yang lain kabur gara-gara Anda."

"A—" Lagi-lagi suaranya tercekat. Lian seakan hendak berkata sesuatu, tetapi melihat tatapanku yang merasa tersakiti, semua kata-kata manis itu lenyap di epiglotisnya. Setengah kesal dia mengangkut semua barangnya dan melangkah ke arah pintu keluar.

"Ingatkan aku supaya tidak melihat origami mulut kodok itu lagi!" pekiknya sebelum menghilang di ujung jalan.

Dan aku tidak tahu kalau besok-besok dia datang lagi ke sini membawa senjata api.

[]
Prompt dari: izaddina


Prompt: MC suka banget main gacha untuk menentukan hal kecil semacam makanan hari itu atau baju apa yang mah dipakai. Suatu hari, MC ditembak sama gebetannya, tapi ada sesuatu yang bikin ragu. Akhirnya MC nge-gacha dan memutuskan untuk menolak, tapi gebetan MC tau dan nggak terima ditolak karena gacha.

Maaf kalo nggak sesuai ekspektasi (。ノω\。) baru kali ini nulis prompt gacha sambil nge-gacha buat awalan sama akhiran //terkapar di tengah serakan kertas gacha

KEMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang